Guru di zaman kini membanderol harga dirinya dengan simbol materi. Menjadi ironis ketika halaman parkir banyak sekolahan kian riuh dengan mobil para guru, obrolan guru tak beranjak dari persoalan gadget atau diskon di brosur berbagai toko, sementara sekolah sebagai lembaga akademis sepi dengan karya-karya gurunya. Harga diri dianggap sepadan dengan kebiasaan makan di berbagai gerai bersama koleganya. Jika situasi guru tersebut terjadi di sekolah swasta, implikasinya murid yang datang hanya berkemampuan mediokre. Sekolah menjadi mediocre. Tidak jelek-jelek amat, tetapi juga tidak pernah sungguh unggul.
Kalaupun hal itu terjadi pada guru di sekolah negeri, mereka tidak pernah terusik oleh naikturunnya murid yang masuk. Akan tetapi, situasi ironis tersebut kian mengukuhkan kekhawatiran, bahwa guru memang tidak lebih dari pegawai administratif dengan rutinitasnya. Di zaman kini, sebagian besar jumlah guru tidak lagi berada dalam tekanan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau mencukupkan finansial, maka pergeseran kebutuhan guru tentunya mengarah pada aktualisasi diri.
Mengaktualisasikan diri dengan karya pengembangan diri akan menjadikannya diperhitungkan di kancah intelektual. Guru yang doyan diskusi, gemar bacaan mutakhir, dengan sendirinya akan mengangkat harga dirinya. Dan, negara pantas memberikan penghargaan finansial secara lebih lewat berbagai tunjangan, tanpa disertai cibiran sinis sesama pegawai bukan guru.
(St Kartono. Guru SMA De Britto, Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 7 Desember 2016)