opini

Perdamaian yang Semu

Senin, 5 Desember 2016 | 14:43 WIB

SEORANG pembicara berkebangsaan Amerika dalam sebuah forum di Kualalumpur pernah menyampaikan pernyataan yang mengagetkan. Menurutnya, kita telah menikmati perdamaian sepanjang 60 tahun terakhir. Perdamaian yang ia maksud merujuk pada fakta jumlah korban akibat perang. Korban Perang Dunia I dan Perang Dunia II berjumlah 70 juta orang telah menurun menjadi ‘hanya’ 200 ribu orang dalam perang yang terjadi setelahnya. Argumentasi ini seolah menggambarkan persepsi Amerika bahwa perdamaian telah tercapai ketika jumlah korban akibat perang menjadi lebih sedikit daripada korban perang di era sebelumnya. Ini merupakan bentuk kepicikan dan kesalahan persepsi atas perang.

Saya bukan anti-Amerika. Namun saya ingin menunjukkan fakta bahwa Amerika seringkali menggunakan persepsi, kekuasaan, dan sarana yang dimilikinya untuk memaksa masyarakat dunia agar menerima dan mengikuti pemikiran dan aturan mereka. Sebagai contoh, lihat bagaimana mereka memainkan American Football yang permainannya berbeda dengan sepakbola umumnya. Amat jarang kita menemukan di belahan dunia lainnya yang memainkan permainan tersebut.

Setiap tahun Amerika melangsungkan kompetisi American Football ‘The World Series’, dimana orang Amerika bermain sepakbola ala Amerika di wilayah Amerika, kemudian disebut sebagai ‘kompetisi dunia’. Penggunaan istilah ‘The World Series’ bermakna seakan-akan Amerika Serikat ialah dunia. Sehingga tidak heran jika Amerika menikmati kedamaian maka negara lain pun juga akan damai. Atau, jika dalam persepsi Amerika perdamaian berarti minimalnya jumlah korban akibat perang, maka persepsi dunia tentang perdamaian juga merujuk pada hal yang sama.

Kejahatan

Akan tetapi, berapa pun jumlah korban yang jatuh akibat perang, sesungguhnya membunuh orang lain dengan tujuan apa pun adalah kejahatan. Sangat tidak logis jika karena membunuh satu orang, Anda mungkin akan ditangkap dan diseret ke pengadilan bahkan dihukum dengan hukuman mati. Sementara, membunuh ribuan orang dalam sebuah perang, tindakan itu dianggap sebagai sebuah kemuliaan. Para pembunuh yang memenangkan perang akan mendapatkan medali penghargaan, bahkan nama mereka akan ditorehkan dalam monumen. Kontradiksi inilah yang seharusnya mendasari persepsi kita bahwa perang adalah kejahatan.

Lihatlah apa yang terjadi dengan Suriah. Sebelumnya, Suriah adalah sebuah negara yang aman, dimana tinggal kelompok Sunni, Syiah dan Kristen yang hidup berdampingan dengan damai. Namun kemudian Suriah berusaha untuk melengserkan rezim pemimpin diktator yang melakukan pembunuhan terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Itulah yang terjadi dengan Suriah hari ini, campur tangan dari negara-negara lain menjadikan peperangan di Suriah menjadi sarat dengan kekerasan dan perang antarsaudara, perang antaragama dan akibatnya kengerian perang terjadi di mana-mana.

Banyak masyarakat tak berdosa menjadi korban jiwa atau harus terbuang dari tanah kelahirannya sebagai pengungsi. Mereka banyak ditemukan di negara-negara asing dalam kondisi tanpa tempat berteduh dan perlindungan, minim akses atas air, makan dan obat-obatan. Mereka adalah korban perang, perang yang terjadi antara yang menginginkan perubahan rezim dan yang mempertahankan rezim pemerintah. Perang menjadi opsi untuk melakukan perubahan, tapi apakah ini beradab?

Kita seringkali menganggap diri kita sebagai manusia yang paling beradab, tapi sebenarnya tidak. Kita bahkan lebih tidak beradab dan lebih primitif daripada orang-orang yang paling primitif dari 4.000 atau 5.000 tahun yang lalu. Orang-orang dari Zaman Batu yang membunuh dan melakukan peperangan, namun kerusakan yang ditimbulkannya sangat minimal dibandingkan yang kita lakukan. Berkat pengetahuan dan berbagai kemajuan teknologi, kita dapat menghapus penduduk di muka bumi ini dengan persenjataan modern yang kita miliki. Perang tidak lagi antara tentara melawan tentara, namun perang juga menargetkan kelompok masyarakat takber daya seperti balita, perempuan dan orang tua. Bahkan perang telah ditampilkan di layar kaca sebagai peristiwa biasa.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB