SEKIAN tahun silam tepatnya November 1977 Kepala Dinas Pertamanan DKI Jakarta, kala itu dijabat H Djaelani, menginstruksikan agar setiap pengendara mobil yang mengakibatkan rusak atau robohnya pohon wajib mengganti dengan jenis dan jumlah pohon yang sama. Kebijakan ini tampak sepele. Meskipun demikian, kebijakan yang hampir empat dasa warsa tersebut seandainya diterapkan saat ini masih sangat relevan. Bukan sekadar memberlakukan sanksi, tetapi ada nilai menghargai pohon di balik kebijakan itu. Pohon atau tanaman merupakan produsen oksigen yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup.
Memuliakan pohon juga diterapkan di Korea. Di Negeri Ginseng ini pohon sangat dihargai bak menghargai pribadi manusia. Persemaian beragam bibit tanaman dilakukan secara massal dan rutin. Jika usia tanaman sudah mencukupi untuk ditanam di sepanjang tepi jalan kota, pohon-pohon muda akan ditanam dengan ditopang menggunakan kayu. Ujung kayu penopang dibebat menggunakan sabut kelapa agar tidak menusuk atau melukai batang pohon. Pepohonan yang sudah dewasa pun dirawat dengan pengairan, pemupukan, dan pemangkasan daun secara rutin. Pada saat musim dingin, pepohonan dihangatkan dengan selimut ijuk yang membungkus batang. Sebaliknya, pada saat kemarau, pepohonan diinfus menggunakan tetesantetesan air agar tidak dehidrasi dan layu. Hal yang tidak pernah kita temui di negara kita ini. Pepohonan justru ditebang dan dibakar dengan membabi buta demi keuntungan segelintir konglomerat.
Ranah Pendidikan
Mencintai lingkungan terutama pepohonan, harus dimulai sejak dini. Wahana pendidikan sekolah menjadi salah satu sarana strategis. Cinta lingkungan dimulai dengan membongkar mitos bahwa manusia adalah pusat dan penguasa alam semesta (anthroposentris). Para peserta didik perlu diingatkan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari alam yang luas. Manusia hanya salah satu entitas jaring-jaring makanan yang merupakan jaring-jaring ketergantungan ekologi. Ketika semua trofik makhluk penghasil oksigen tersebut habis, maka punahlah pula populasi bernama manusia tersebut. Manusia seharusnya menyadari gelar spesies homo sapiens, manusia bijaksana, yang disematkan kepadanya. Bijaksana dalam berelasi dengan makhluk hidup beserta lingkungannya.
Materi pelajaran tidak perlu ditambah dengan pelajaran baru bernama lingkungan hidup atau sejenisnya. Muatan kurikulum pendidikan saat ini sudah berjejal dan sangat membebani peserta didik. Semua materi ajar bisa mengintegrasikan nilai cinta lingkungan. Mata pelajaran matematika jangan lagi menghitung dasar penjumlahan di atas selembar kertas, tetapi menghitung jumlah pohon di kebun sekolah. Materi menulis halus jangan hanya menuliskan ‘ini Budi dan ini WatiÃ, tetapi ‘ini melati dan ini trembesiÃ. Melalui strategi ini, alam bawah sadar peserta didik akan terbiasa dan lebih mengenal tanaman di sekelilingnya. Sesuai peribahasa, tak kenal maka tak sayang, peserta didik diharapkan akan lebih menyayangi tanaman.
Pada jenjang pendidikan lebih tinggi, peserta didik harus mampu mengembangkan daya analisis dan berpikir kritis. Peserta didik bisa disuguhi dengan permasalahan lingkungan yang riil tengah berlangsung di sekitarnya. Proses pembangunan gedung dengan mengorbankan pohon bisa menjadi kajian menarik. Pemikiran kritis, lebih mementingkan tegaknya bangunan atau kehidupan pohon, bisa menjadi kajian menarik. Peserta didik harus sampai pada kesadaran bahwa sebuah gedung bisa dibangun dalam dua bulan, sedangkan pohon bisa dirasakan manfaatnya setelah dijaga pertumbuhannya selama dua puluh tahun. Akhirnya bukan lagi menghilangkan pohon atau sebuah gedung, namun solusi menang-menang, bagaimana agar komponen biotik dan abiotik tersebut tetap bersanding secara harmonis sehingga mampu memberikan kebahagiaan manusia.
Pada jenjang yang lebih tinggi lagi, peserta didik harus mampu melakukan pembelajaran berbasis proyek. Tagihan bagi peserta didik berupa produk atau program kegiatan penyelamatan lingkungan. Misalnya proyek penanaman pohon bakau, reforestri, atau berbagai cara pemuliaan tanaman lainnya. Bukan lagi tataran konsep tapi sudah aksi nyata.
Melalui ranah pendidikan yang terbangun secara sistematis, sinergis, dan berkelanjutan, niscaya ‘perikepohonanà akan terwujud. Pepohonan bukan lagi sebagai objek penderita. Pepohonan menjadi sahabat karib manusia sehingga terwujud kesetimbangan ekosistem. Selamat Hari Pohon!