PEMERINTAH pusat tahun ini mengalokasikan dana desa senilai Rp 46,9 triliun, dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp 20 triliun. Dana desa sebesar itu diperuntukkan bagi 74.754 desa yang tersebar di Indonesia. Setiap desa menerima dana desa antara Rp 600 juta sampai Rp 800 juta.
Walaupun pemerintah pusat memangkas anggaran untuk semua kementerian dan lembaga negara, namun khusus pos anggaran dana desa tidak ada pengurangan. Ini menunjukkan konsistensi komitmen pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan di pedesaan dan pembangunan daerah tertinggal. Mengingat dana desa saat ini peruntukannya difokuskan pada pembangunan infrastruktur desa dan pemberdayaan masyarakat.
Terhadap pengelolaan dana desa, yang dikhawatirkan banyak pihak adalah penggunaannya yang berpotensi dikorupsi. Baik sengaja ataupun tidak disengaja (karena kekurangpahaman cara pemanfaatan maupun pelaporan administratifnya) oleh perangkat desa dan siapapun yang berkaitan dengan penggunaan dana desa.
Lemah Pengawasan
Trisno Yulianto melalui tulisannya di harian ini, ‘Korupsi Dana Desa’ (KR, 25/6/2016) menggambarkan bagaimana modus korupsi dana desa. Umumnya terjadi pada pos belanja barang dan jasa dan penggunaan dana desa yang tidak sesuai dengan APBDesa, Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP) Desa maupun regulasi yang dikeluarkan Kementez-rian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT).
Oleh Trisno Yulianto juga diuraikan lemahnya pengawasan penggunaan dana desa. Disebutkan, paling tidak ada 3 faktor yang menyebabkan lemahnya pengawasan dana desa. Yakni kultur feodalisme yang masih berakar kuat di pedesaan, lemahnya lembaga kemasyarakatan yang ada, seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dalam melakukan fungsi pengawasan. Selain itu juga kurang maksimalnya asistensi lembagalembaga dari tingkat kabupaten.
Kelemahan utama pengawasan penggunaan dana desa sejatinya berpangkal pada kondisi sosiologis di pedesaan yang masih feodalistik. Lembaga apapun yang ada di pedesaan, akan cenderung melemah ataupun mudah diperlemah oleh kultur feodalistik yang ada. Tokoh masyarakat ataupun lembaga yang berani melakukan pengawasan pembangunan desa, dengan mudahnya akan dicap sebagai musuh bersama oleh masyarakat setempat. Pemberian cap ‘musuh bersama’tadi biasanya dimotori kepala desa dan segenap perangkatnya.
Mencegah dengan UU KIP