SELAMA hampir enam (6) bulan, tidak kurang dari 15 Warga Negara Indonesia (WNI) telah mejadi korban penyanderaan kelompok Abu Sayyaf. Menurut Menteri Luar Negeri sudah kelima peristiwa kasus penyanderaan yang meIibatkan tak kurang 10 dan 5 ABK WNI yang saat ini sedang disandera. Sebagai kejahatan lintasnegara, pembajakan atau penyanderaan sejajar dengan kejahatan penjualan senjata, perdagangan orang, dan juga kejahatan narkotika dan obat terlarangn lainnya yang juga beirisan dengan kejahatan terorisme.
Wilayah perbatasan laut teroritorial, Indonesia, Malaysia dan Filipina tergolong wilayah rentan ancaman perompakan terhadap warga negara atau kapal-kapal yang berlayar di sekitarnya. Untuk merespons keadaan tersebut, Indonesia, Malaysia, dan Fillpina melakukan kerjasama yang dituangkan dalam joint declaraction (JD), di Yogyakata tanggal 5 Mei, 2016. Substansinya antara lain : melakukan patroli bersama di wilayah perbatasan laut. Kedua, membentuk Pusat Informasi dan Pusat Crisis Centre di setiap negara, jika terjadi gangguan keamanan. Ketiga, memberikan bantuan dan pertolongan jika terjadi masalah baik terhadap warga negara maupun terhadap kapal-kapal suatu negara berada di wilayah perairan salah satu negara. Terakhir, menyusun prosedur penanganan terpadu untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Akan tetapi, JD belum efektif. Penyanderaan terulang lagi. Sejak 21 Juni tujuh orang ABK disandera dan saat ini sedang diperjuangkan untuk dibebaskan. Ketiga orang WNI dari Indonesia Timur disandera, sedangkan warga Malaysia dibebaskan. Pada prinsipnya pembebasan atas ketiga sandra WNI harus diprioritaskan, tetapi cara penyelesaian terpadu dan aman diakui memang tidak mudah dilakukan.
Pertama, bahwa JD belum efektif bisa dipahami karena baru pada pendekatan diplomasi hasil lobi dan negosiasi. Karena itu, belum bisa mengikat mengingat baru dipandang sebagai hukum lunak yang belum dapat mengikat pihak-pihak. Kedua, Presiden Jokowi, mengusung visi dan misi pembangunan Indonesia dari pinggiran dan 'menjadikan Indonesia Poros Maritim Dunia' (PMD). Secara geopolitik, PMD akan kondusif bagi Indonesia jika kerangka kerjasama kemitraan dengan negara-negara tetangga lebih diprioritaskan.
Ketiga, jika dua model pendekatan di atas lebih dominan diperankan Negara, tidak kalah pentingnya keterlibatan aktor-aktor non-negara dalam penanganan sandera bisa diakomodir. Keempat, sikap pemerintah yang ambigu untuk tidak mau melakukan pembayaran atas uang tebusan tak perlu diulang-ulang. Bukan saja kontra-produktif, melainkan juga kurang menghargai pihak lain yang melakukan hal yang sama di lapangan.
Dari kasus lima kali penyanderaan WNI tampaknya kelompok Abu Sayyaf menujukan ketagihan. Selain ada motif kebutuhan ekonomi juga kepentingan politik barter. Sebab, bukan hal mustahil fenomena penyanderaan mengandung pesan politik terhadap keberhasilan Densus 88 Anti Teorir Polri meringkus para teroris di Indonesia. Situasi keamanan internal Indonesia mudah dibaca untuk digunakan kelompok Abu Sayyaf sebagai sarana pengumpulan dana perjuangan.
Prediksi dan antispasi ke depan terkait penangulangan dan perlindungan WNI dari penyanderaan memang tidak mudah. Pertama, masyarakat dan pemerintah Indonesia tergolong negara dermawan. Sebagaimana berkali-kali pemerintah Indonesia membebaskan TKI dari ancaman hukum pancung atau qishash di Saudi Arabia. Mereka umumnya dapat dibebaskan oleh pengadilan syariah karena pemembayaran puluhan miliar rupiah sebagai uang tebusan karena ada pemaafan, diyat dari pihak keluarga korban. Kebijakan itu ada kaitannya dengan penerapan prinsip perlindungan. Pemerintah Indonesia berkewajiban menyelamatkan TKI dari ancaman hukuman mati, sekalipun pihak Kementerian Tenaga Kerja dan BNP3TKI, harus mencari dana lain.
Atas dasar prinsip tersebut, seharusnya Pemerintah Indonesia menerapkan secara sama terhadap kasus penyanderaan WNI di wilayah perbatasan laut Fillipina dan Malaysia. Justru, jika selama ini kebijakan pemerintah menolak untuk memberikan uang tebusan adalah tidak tepat, bahkan bisa melanggar hak-hak konstitusional, WNI ABK. Mereka menjalankan tugas perusahaan untuk berlayar di laut bebas atau laut territorial memiliki hak untuk dilindungi. Dalam UUD NRI 1945, Pasal, 28A, hak dasar seseorang untuk hidup, Pasal 28D, jaminan jaminan perlindungan dan perlakukan yang sama di depan hukum. Hal ini merupakan pemenuhan terhadap hak-hak untuk hidup yang tidak bisa ditangguhkan. (Prof Dr Jawahir Thontowi SH, Guru Besar Ilmu Hukum dan Direktur Centre for Local Law Development Studies CLDS FH UII. Artikel ini dimuat di Kolom Analisis Harian KR, edisi Sabtu 16 Juli 2016)