opini

Berdaulat di Natuna

Rabu, 29 Juni 2016 | 07:00 WIB

INSIDEN penangkapan kapal penangkap ikan Tiongkok pada Jumat (17/6) oleh Gugus Tugas Kapal Perang TNI AL semakin memperjelas ancaman terhadap wilayah kedaulatan RI di Natuna. Bahkan dalam insiden penangkapan tersebut KRI Imam Bonjol sempat mengeluarkan tembakan peringatan terhadap kapal nelayan Tiongkok yang mencoba kabur saat hendak ditangkap.

Penangkapan itu bukanlah yang pertama. Dari pola yang terjadi disinyalir ini merupakan hal yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Mengingat dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah yang diklaim sebagai traditional fishing ground, kapal-kapal Tiongkok mendapatkan pengawalan dari kapal penjaga pantai. Proses penangkapan oleh TNI AL juga bukan tanpa hambatan. Acapkali kapal penjaga pantai Tiongkok bermanuver untuk mengamankan kapal penangkap ikan. Di sini ketegasan menjadi kata kunci dalam tindakan yang berhasil dilakukan TNI AL.

Insiden demi insiden yang terjadi harus menjadi alarm bagi Pemerintah Indonesia. Muncul pertanyaan, akankah hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang normal dan lumrah, atau sebagai ancaman serius bagi kedaulatan dan martabat Indonesia?

Posisi Natuna yang sangat strategis menjadikan Tiongkok sangat tergoda untuk memperluas 'ekspansi klaim' di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Di semua sisi LTS Tiongkok memiliki sengketa batas wilayah dengan beberapa negara, kecuali Indonesia. Sejauh ini pelanggaran batas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah Natuna masih dilakukan oleh kapal-kapal sipil Tiongkok. Jika hal tersebut dibiarkan tanpa ada reaksi keras Pemerintah Indonesia, bukan tak mungkin ke depan platform militer seperti kapal perang, kapal selam, maupun pesawat militer Tiongkok tanpa ragu memasuki wilayah ZEE atau teritorial Indonesia di Natuna.

Beberapa kali penulis menuliskan, klaim sembilan garis terputus merupakan ancaman nyata bagi kedaulatan Indonesia di Natuna. Prediksi dalam beberapa tulisan sebelumnya semakin terbukti pada saat ini. Presiden Joko Widodo  menggelar Rapat Terbatas Kabinet Bidang Keamanan pada Kamis (23/6) di atas KRI Imam Bonjol yang berlayar di Perairan Natuna. Presiden didampingi Panglima TNI dan tiga Kepala Staf Angkatan. Momen tersebut mengandung pesan kuat bahwa Kepulauan Natuna merupakan wilayah Kedaulatan Indonesia. Dan segala bentuk pelanggaran kedaulatan akan ditindak secara proporsional sesuai prosedur penindakan di Indonesia. Tindakan tegas proporsional merupakan solusi agar ke depan insiden sejenis tidak diulang.

Indonesia menganggap berbagai insiden yang terjadi masih dalam ranah pelanggaran hukum, aktor yang terlibat adalah sipil. Respons Pemerintah Indonesia harus menggunakan dua pendekatan yaitu hukum dan diplomasi. Setiap kapal pencuri ikan yang tertangkap harus diproses sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Sementara saluran diplomasi digunakan untuk memperingatkan Pemerintah Tiongkok agar nelayannya tidak mencuri ikan di wilayah Indonesia.

Saat ini sebenarnya merupakan situasi hubungan bilateral terbaik antara RI-Tiongkok pasca Soekarno. Hubungan bilateral yang hangat khususnya di bidang ekonomi seyogyanya dapat digunakan untuk 'mengontrol' agresivitas dan provokasi Tiongkok di LTS, khususnya di wilayah Natuna. Tepat yang dikatakan Menlu Retno Marsudi bahwa insiden di Natuna merupakan pelanggaran hukum oleh nelayan Tiongkok. Untuk mencegah potensi pencurian ikan, Pemerintah Indonesia harus memperketat pengamanan wilayah laut rawan illegal fishing.

Selain dua pendekatan di atas, ada pendekatan ketiga yang juga harus dimainkan Pemerintah Indonesia, yaitu pertahanan. Mutlak dilakukan penguatan fungsi pertahanan di Natuna. Natuna saat ini menjadi hotspot di wilayah LTS. Berbagai media internasional telah memberitakan bahwa Indonesia telah dalam posisi berhadap-hadapan dengan Tiongkok. Ada dua kemungkinan, pertama Tiongkok akan merespons positif reaksi Indonesia pascainsiden yang lalu dan tidak 'memfasilitasi' nelayannya untuk memancing di Natuna. Kemungkinan kedua, Tiongkok akan bergeming dan tetap mengawal nelayannya memancing di ZEE Natuna. Bahkan mungkin akan dikawal oleh platform militer dan berpotensi memunculkan eskalasi. Karena itu, penguatan fungsi pertahanan oleh TNI di Natuna harus menghadirkan daya gentar bagi setiap potensi ancaman bagi kedaulatan. (Suryo Wibisono, Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta. Artikel ini dimuat di Kolom Analisis Harian KR, edisi Rabu 29 Juni 2016)

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB