opini

Mitigasi Bencana Alam

Selasa, 21 Juni 2016 | 07:00 WIB

BANJIR dan tanah longsor menelan banyak korban jiwa di pelbagai tempat di Indonesia. Seperti banjir dan tanah longsor di Purworejo (19/6), menurut berita media paling tidak menewaskan 46 orang dan memutuskan jalur Yogyakarta-Purworejo. Kedua bencana alam tersebut dipicu oleh hujan deras yang terus terjadi belakangan ini.

Banyak peneliti sepakat bahwa perubahan iklim akibat pemanasan global mengakibatkan iklim menjadi lebih menantang untuk diprediksi secara lebih akurat. Banyak peneliti terutama climate scientist dari luar negeri sejak 6 tahun terakhir berusaha memprediksi iklim di masa depan. Caranya  dengan membuat pemodelan iklim secara global (global climate model) yang sangat rumit karena banyak parameter yang perlu dipertimbangkan sebagai data masukan. Hasil dari global climate model tersebut berupa prediksi intensitas hujan dan temperatur hingga tahun 2100. Di luar keakuratan hasilnya yang masih dipertanyakan, usaha yang dilakukan para ilmuwan tersebut patut diapresiasi.

Sekarang, bagaimana Pemerintah Indonesia dapat bekerja sama dengan para akademisi untuk menanggulangi bencana alam yang terus terjadi? Sebagai contoh di negara Jepang, Ministry of Land, Infrastructure, Transport, and Tourism (MLIT) menyediakan data pengukuran intensitas hujan jam-jaman beserta tinggi/kedalaman hujan yang dapat diakses secara gratis untuk semua pihak melalui link berikut: https://www1.river.go.jp/. MLIT sebagai pihak pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan pengukuran data secara kontinyu, dan mempublikasikannya kepada masyarakat luas. Dengan demikian para peneliti di dunia akademisi dapat menggunakan data tersebut untuk melakukan penelitian yang berguna untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkait bencana banjir dan tanah longsor. Dan hasil penelitian dipresentasikan pada seminar tahunan yang dihadiri pemerintah dan para akademisi untuk membahas bagaimana hasil-hasil penelitian tersebut dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di lapangan.

Selain itu early warning system untuk segala jenis bencana alam yang sudah diterapkan oleh pemerintah bekerja sama dengan para akademisi di Jepang telah sangat membantu masyarakat luas. Setiap hari, pejabat yang berwenang terus memantau kondisi intensitas hujan, potensi longsor, ancaman gempa, tsunami dan lainnya. Ketika intensitas hujan mencapai batas yang memungkinkan terjadinya longsor, maka setiap warga secara otomatis menerima alarm tanda bahaya melalui handphone masing-masing. Informasi yang dikirimkan tersebut meliputi lokasi-lokasi mana yang terancam bahaya banjir maupun tanah longsor sehingga warga dapat segera melakukan evakuasi.

Hal serupa juga dilakukan ketika terjadi gempa. Beberapa detik sebelum gempa terjadi, handphone tiap warga otomatis berbunyi untuk menginformasikan bahwa gempa akan segera terjadi sehingga warga dapat bersiap-siap untuk melakukan evakuasi. Secara online, warga juga dapat terus memantau secara online untuk mengetahui tanda bahaya apakah wilayahnya saat itu masuk dalam emergency warning, warning, advisory, atau no warning melalui link berikut: https://www.jma.go.jp/jma/indexe.html.

Hal ini berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia. Bagi penulis, saat ini pemerintah belum menyediakan data pengukuran intensitas hujan dan tinggi hujan yang meliputi seluruh wilayah di Indonesia secara kontinyu. Hal ini relatif menyulitkan bagi para akademisi untuk melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut karena kurang/tidak adanya data penunjang. Yang dilakukan peneliti di dunia akademisi saat ini adalah mencari hibah dana penelitian kompetitif yang diberikan Pemerintah Indonesia.

Hal tersebut bisa menjadi tidak efektif dan efisien, karena keberlanjutannya tidak terjamin. Dana yang didapat hanya cukup untuk memasang alat pengukur hujan di beberapa lokasi, dan tidak meliputi dana untuk operasi dan pemeliharaan. Hal itu menjadikan pemborosan anggaran negara karena mungkin ada lembaga pemerintah yang melakukan pengukuran hujan tetapi data tersebut tidak dapat diakses publik. Sementara para akademisi mendapatkan hibah yang juga menggunakan anggaran negara untuk melakukan hal yang sama. Penulis berharap ada perhatian dari Pemerintah Indonesia untuk menyediakan data yang diperlukan sehingga peneliti dapat bekerja maksimal untuk memberikan rekomendasi cara penanggulangan bencana yang terus terjadi. (Intan Supraba MSc PhD, Penulis adalah Dosen di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM, Tulisan ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin )

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB