DALAM rangkaian prosesi pengantin Jawa lazim diadakan penyebaran udhik-udhik. Sejumlah uang receh beserta hasil bumi seperti beras kuning, kacang hijau, kedele hitam dan bunga disebar kepada khalayak, sebagai simbul wujud syukur atas rejeki yang diterima. Dalam upacara adat Jawa lain yang bernuansa kesyukuran, juga lazim ditemui penyebaran udhik-udhik oleh raja, pimpinan komunitas, atau lainnya, untuk simbolisasi kesyukuran pribadi maupun publik. Â
Hari-hari terakhir pemberitaan juga sedang diwarnai upacara penyebaran udhik-udhik. Salah satunya Program Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian, sebagai upaya stabilisasi harga pangan. Dalam program ini, pemerintah memberikan dana masing-masing Rp 200 juta kepada 500 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), untuk bekerja sama dengan Toko Tani Indonesia (TTI) sebagai penjual pangan, sehingga memungkinkan murah. Untuk beras diharapkan TTI bisa menjual Rp 7.500/kg.
Waktu peluncuran TTI juga sangat tepat karena dilaksanakan sebelum bulan Ramadan. Karena dalam bulan Ramadan bisa dipastikan terjadinya lonjakan harga. Bisa dicontohkan sederetan waktu launching itu misalnya: Provinsi Jawa Barat 15 Mei 2016, Sumut 18 Mei, Riau 30 Mei, Aceh 5 Juni, dan sebagainya. Sementara ini lonjakan harga beras tidak menjadi-jadi seperti kejadian setiap Ramadan. Apalagi, dibandingkan komoditas pangan lainnya.
Program udhik-udhik juga ditengarai dilaksanakan dalam kaitannya dengan stabilisasi harga daging sapi melalui Program Kapal Sapi yang mengangkut sapi dalam negeri ke Jakarta. Dengan angkutan murah diharapkan pasok daging sapi domestik mampu bersaing dan mengurangi ketergantungan pada impor. Realitasnya, angkutan pertama, Agustus 2015, sukses terangkut sejumlah 60 persen dari kapasitas 500 ekor. Angkutan kedua dan ketiga dari kawasan sama, Nusa Tenggara Timur, terisi nol persen. Dan angkutan keempatnya awal 2016 terisi 100 persen, dengan insentif tertentu bagi peternak.
Menarik sekali mencermati program stabilisasi pasar dua komoditas strategis ini: TTI dan kapal sapi. Stabilisasi harga dikendalikan melalui udhik-udhik. Efektivitasnya pasti akan melibatkan program udhik-udhik yang lain lagi dalam peningkatan mujarabnya PUPM dan kapal sapi, menurut karakter pasar serta mutu kebijakan tataniaga masing-masing.
Untuk perberasan nasional, tentu rujukannya adalah acuan utama landasan tataniaga perberasan yang dalam hal ini Inpres 5/2015 tentang Perberasan, yang dilanjutkan keberlakuannya untuk 2016. Kurang apanya tataniaga perberasan nasional yang sudah memiliki Inpres tetapi masih harus ditopang program nyebar uang via PUPM dan TTI. Kajian utama tentu harus dikonsentrasikan kepada Inpres dimaksud, sehingga perlu-tidak TTI itu.
Ketika dilakukan kaji ulang Inpres 5/2015, ada soal proporsionalitas harga yang serius. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen (GKP), di penggilingan Rp 3.750/kg. HPP Gabah Kering Giling (GKG) di Gudang Bulog Rp 4.600/kg dan HPP Beras Rp 7.300/kg di Gudang Bulog. Telaah teknis membuktikan bahwa tidak mungkin harga beras bisa Rp 7.300 ketika GKG Rp 4.600. Ketika harga GKP-GKP naik lagi, Rp 7.500 pun semakin musykil kecuali dengan udhik-udhik.
Ada lagi kesalahan implementatif, bahwa HPP ternyata lebih rendah dari harga pasar, bahkan saat panen raya sekalipun. Secara teknis kemungkinan terjadinya harga Rp 7.500/kg menjadi menjauh. Akibatnya, Inpres tidak operasional. Bulog tidak bisa beli, gudang melompong dan memunculkan aneka spekulasi. Ketika angka Rp 7.500 dipandang sebagai angka stabilitas, maka itu hanya mungkin kalau ada yang nyebar uang dari kahyangan, memurah-murahkan harga.