SELAMA sepekan ini terjadi kehebohan di Media Sosial, yang dipicu oleh peredaran rekaman video pendek dari @pojoksatu.id dilangsir Media Tik Tok terkait pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam video itu, Luhut memberikan sinyal bahwa Bahan Bakar Minyak (BBM) akan dinaikkan. Luhut bahkan mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengumumkan minggu depan. Hanya, Luhut tidak menyatakan secara jelas kenaikkan harga BBM Subsidi atau Non-Subsidi atau keduanya.
Kalau yang dimaksud Luhut adalah kenaikkan harga BBM Non-Subsidi barangkali tidak akan heboh sama sekali. Pasalnya, penetapan harga BBM Non-Subsidi tidak lagi ditetapkan oleh Pemerintah, melainkan ditetapkan oleh Pertamina berdasarkan mekanisme pasar. Secara berkala, harga BBM Non-Subsidi telah berfluktuasi tergantung perubahan harga minyak dunia. Selama ini, kenaikkan harga BBM Non-Subsidi tidak menimbulkan masalah, baik masalah terhadap konsumen, maupun masalah terhadap kenaikan inflasi dan penurunan daya beli masyarakat. PT Pertamina (Persero) bahkan sudah menaikkan harga Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex terhitung mulai 1 Agustus 2023.
Kenaikan harga ketiga jenis BBM itu tidak menimbulkan gejolak sama sekali karena segmen konsumen adalah kelas menengah ke atas dengan proporsi relatif terbatas. Hanya sekitar 11,5% pengguna BBM Non-Subsidi sehingga kenaikkan harga BBM itu tidak berpengaruh signifikan terhadap kenaikan inflasi dan penurunan daya beli masyaratakat. Berbeda dengan BBM Non-Subsidi, proporsi konsumen BBM Subsidi, terdiri Pertalite dan Solar, mencapai 88,5%. Dengan proporsi konsumen sebesar itu, setiap kenaikkan harga BBM Subsidi pasti memberikan kontribusi signifikan terhadap kenaikkan inflasi dan penurunan daya beli masyarakat.
Adanya dampak tersebut, Pemerintah cenderung sangat hati-hati dalam memutuskan kenaikkan harga BBM Subsidi. Pemerintah selalu menghitung dengan seksama dampak kenaikan harga BBM Subsidi terhadap sektor ekonomi, sosial dan politik. Tidak mengherankan kalau Pemerintah belum pernah menaikkan harga BBM sejak dinaikan pada 3 September 2022 lalu. Pada saat itu, alasan utama untuk menaikan harga BBM Subsidi adalah pembengkaan beban subsisdi energi yang sudah mencapai Rp. 502,4 triliun.
Presiden SBY dan Presiden Jokowi tidak pernah sekalipun menaikkan harga BBM Subsidi pada tahun politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) periode kedua pemerintahannya. Diayakini bahwa kenaikan harga BBM Subsidi menjelang Pilpres akan menurunkan tingkat elektibilitas SBY dan Jokowi. Pada Pipres 2024, Jokowi memang tidak bisa maju lagi, namun Jokowi berkepentingan mendukung calon presiden yang akan melanjutkan legasi pembangunan yang sudah dilakukan selama hampir 10 tahun ini. Kenaikan harga BBM Subsidi diperkirakan akan menurunkan approving rate Jokowi, yang saaat ini mencapai 82%. Dampaknya, elektabilitas calon presiden yang diduga didukung Jokowi akan merosot sehingga tidak mustahil calon presiden, yang selama ini diduga tidak didukung Jokowi, akan memenangkan Pilpres 2024.
Berdasarkan fakta historis dan prediksi penurunan approving rate Jokowi, harga BBM pada tahun politik 2023 diperkirakan tidak akan pernah dinaikkan hingga Pilpres usai. Agak mengherankan sinyalemen Luhut terkait kenaikkan harga BBM yang dalam seminggu ini akan diumumkan Jokowi. Jangan-jangan video itu merupakan hoax berita bohong yang sengaja diviralkan oleh pihak tertentu. Kalau benar, sungguh amat disayangkan peredaran hoax berita bohong terkait kebijakan ekonomi yang sensitif terhadap kenaikkan harga. Alasannya, hoax berita bohong itu akan memicu kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok yang menambah beban hidup rakyat miskin, sebelum kenaikkan harga BBM Subsidi diputuskan. Dihimbau kepada semua pihak agar berhenti membuat dan mengedarakan hoax berita bohong yang berpotensi menyengsarakan rakyat miskin. (Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM dan Pengurus ISEI DIY)