INDONESIA mengalami perubahan mekanisme pasar yang signifikan di tengah pesatnya kemajuan Internet dan Teknologi. Platform media sosial seperti TikTok dan Instagram kini menyediakan fitur ‘Live’ yang menjadi ladang subur aktivitas jual beli.
Jumlah akun pengguna TikTok mencapai 113 juta, sedangkan Instagram memiliki lebih dari 89 juta pengguna (KataData 2023). Saat ini, TikTok Shop dan Instagram Live berhasil mendominasi pasar tradisional, bahkan menggeser platform marketplace lainnya. Sayangnya, di balik gemerlap digital TikTok Shop dan Instagram Live, ada sebuah ironi yang patut kita renungkan bersama. Penetrasi platform media sosial dalam proses jual beli ternyata bersifat eksklusif. Diskriminasi algoritma media sosial membuat akun dengan tingkat engagement (ER) tinggi terus menerus muncul di beranda kita.
Masyarakat semakin mudah mengakses akun media sosial artis dan influencer. Di sisi lain, akun-akun UMKM yang kalah populer, justru semakin sulit menjangkau masyarakat. UMKM dipaksa bersaing dengan artis dan influencer yang memiliki modal sosial yang sangat kuat.
Selain diskriminasi algoritma, platform media sosial pun diduga melakukan praktik predatory pricing dengan memberikan subsidi untuk akun dan produk tertentu. Salah satu contoh nyata yang saya saksikan sendiri, seorang artis terkenal menjual bawang goreng di TikTok Shop dengan harga yang sangat jauh di bawah harga
pasar. Praktik ini mengakibatkan persaingan usaha menjadi tidak sehat. Alih-alih meningkatkan inovasi dan kualitas produk, pelaku UMKM harus berlomba menjual produk dengan harga semurah-murahnya. Fenomena race to the bottom ini adalah representasi dari bagaimana ketimpangan digital bisa mengakibatkan dampak nyata
bagi UMKM. Pertanyaannya, apakah model bisnis seperti ini adil?
Menurut saya, ada dua langkah konkrit yang bersifat urgensi untuk melindungi UMKM sebagai pilar tulang punggung ekonomi bangsa kita. Langkah pertama adalah memberikan insentif khusus bagi UMKM yang menjual produknya di platform digital. Insentif tersebut bisa dalam bentuk pemotongan pajak, bantuan promosi
dan/atau endorsement, dan pendampingan digital marketing. Selain itu, kita bisa mendorong para artis dan influencer untuk berkolaborasi dengan UMKM.
Langkah kedua yang tidak kalah penting, kita harus memastikan keterlibatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Mereka harus lebih proaktif dalam mengawasi praktik persaingan usaha di dunia digital untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi semua pihak. Beberapa negara lain seperti Uni Eropa, Amerika
Serikat, dan India, telah lebih dulu meregulasi platform digital dan e-commerce untuk melindungi produk dalam negeri mereka dan menciptakan mekanisme pasar yang sehat. Meskipun Indonesia memiliki sistem sosial ekonomi yang berbeda, kita tetap dapat mengambil pelajaran berharga dari hal ini.
Tidak dapat dipungkiri, kemajuan Internet dan Teknologi memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kita harus bisa beradaptasi dengan perubahan mekanisme pasar. Pemerintah sebagai regulator harus bisa memastikan UMKM memiliki kesempatan dan daya saing untuk berkompetisi di
tengah kondisi yang semakin dinamis. (Aishah Gray, Wasekjen DPP PSI)