KRjogja.com - ISTILAH hilirisasi menjadi populer akhir-akhir ini, dalam kaitannya dengan hilirisasi hasil tambang. Namun demikian hilirisasi juga penting untuk sektor yang lain misalnya pertanian. Hal ini mengingat bahwa banyak produk pertanian yang tidak selalu siap dikonsumsi, dan memerlukan proses lanjutan seperti kopi, kakao, padi, ikan, garam, susu, dan hasil pertanian lainnya. Proses pengolahan produk pertanian hingga menghasilkan coklat dan garam untuk Spa misalnya, belum selalu banyak dilakukan di dalam negeri. Padahal, nilai tambah proses pengolahan produk pertanian ini tinggi dan bisa menyerap banyak tenaga kerja. Oleh karena itu, tidak aneh pada saat pelantikan pengurus ISEI Cabang Yogyakarta dan Kafegama pada bulan Februari lalu, Dr. Perry Warjiyo (sebagai ketua umum ISEI Pusat) memberikan mandat kontribusi ISEI untuk mendorong hilirisasi sektor pertanian.
Fakta lain mengenai produk pertanian di sektor hulu adalah fluktuasi harga, pada saat panen harga jatuh yang sering membuat petani kelimpungan. Demikian yang sering terjadi baik petani sayur dan hortikultura di daerah Kopeng Salatiga, padi terjadi hampir di semua daerah, buah (semangka, jambu, rambutan), sehingga seringkali harga jual tidak bisa menutup ongkos memanen. Akibatnya, petani membiarkan produk dan tidak memanennya. Padahal, apabila tersedia pihak yang memproses berbagai produk pertanian tersebut sehingga menjadi produk olahan, maka nilai tambah dan manfaat produk akan semakin meningkat.
Baca Juga: Nyamankan Pemudik, Pertamina Sediakan Serambi MyPertamina di Rest Area KM 379 A dan KM 260 B
Kontrak Pertanian
Salah satu penyebab dari munculnya masalah kelebihan pasokan tersebut tersebut adalah karena tidak ada kerjasama antara petani dengan para pengolah (processor). Petani dibiarkan bebas menanam, memanen dan kemudian menjualnya ke pasar. Dengan waktu panen yang bersamaan, maka pasokan buah, padi atau produk yang seperti ini menjadi melimpah. Akibatnya, tidak terserap oleh pengolah dan harga jatuh. Di era keberadaan lumbung padi dan KUD (Koperasi Unit Desa) di masa lalu, kedua lembaga ini berperan menampung hasil panen, menyimpan, dan mengeluarkan pada saat paceklik, sehingga pasokan menjadi lebih terkontrol. Namun, kedua lembaga tersebut tidak tersedia untuk buah-buahan, sayuran, daging, dan juga telur.
Kontrak antara petani dengan pengolah menjadi salah satu alternatif. Praktik antara pengusaha pakan ayam dengan peternak ayam bukan ras, sistem plasma dan inti sudah lama dipraktikkan. Meskipun harga kelapa sawit sering berfluktuasi, namun jaminan kontrak dari pengusaha minyak sawit dan proses penentuan harga yang transparan tidak menyebabkan pasokan berlebihan.
Baca Juga: Inflasi THR
Dalam hal ini, praktik yang dilakukan oleh petani kakao di daerah Kalibawang, Kulon Progo dengan UMKM produsen coklat bisa menjadi alternatif. Harga kakao sangat berfluktuasi, telah membuat petani mengurangi resiko dengan cara melakukan diversifikasi kegiatan untuk sumber penghasilan mereka. Akibatnya, kualitas dan produktivitas kakao menurun. Tidak sedikit petani yang mengganti pohon kakao dengan yang lain. Sementara itu, bu Tutik, sebagai UMKM produsen coklat Wondis memerlukan kakao dengan kualitas bagus dan kuantitas yang sesuai. Dengan semakin berkurangnya perhatian petani pada kakao maka semakin sulit bu Tutik memperoleh bahan untuk coklatnya. Padahal coklat sedang naik daun dan disukai pelanggan. Beruntung masih ada pak Dalijo yang masih setia memelihara kakao dan bersedia bekerjasama dengan bu Tutik, untuk memasok kakao dengan kualitas dan harga yang disepakati. Bahkan pada saat terjadi kelangkaan kakao akhir-akhir ini, kerjasama antara pak Dalijo dengan bu Tutik tetap berlangsung. Petani yang sudah mengikat kontrak tidak tergiur harga yang tinggi. Dengan demikian, komitmen terhadap kerjasama menjadi kunci kontrak pertanian akan bertahan.
Kerjasama seperti di atas, banyak dilakukan dalam rangka kemitraan pertanian. Namun demikian, kebanyakan masih inisiasi swasta. Kiranya peluang pengembangan kemitraan masih terbuka untuk pemerintah bisa masuk menginisiasi. Pengembangan kontrak/kemitraan kiranya masih diperluas. Untuk untuk di Yogya kemitraan antara desa wisata dengan perhotelan dan penghasil produk pertanian di sekitarnya; kemitraan petani garam dengan penghasil garam Spa dan pihak hotel dan Spa; kemitraan peternak (sapi, ayam pedaging, dan petelur) dengan Restoran dan hotel; dan lain-lain sehingga kemandirian dan kekuatan sektor pertanian bisa dipertahankan. (Catur Sugiyanto, Profesor Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM serta Anggota Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta)