KRjogja.com - BELAKANGAN ini banyak kebijakan Pemerintah yang dinilai tidak mengikuti evidence base bahkan tidak feasible untuk diterapkan. Program Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) misalnya merupakan kebijakan yang tidak efisien dan menambah beban kelas menengah. Pemerintah berdalih kebijakan TAPERA yang dibayarkan untuk memiliki rumah dapat dianggap sebagai argumen semu. Skema yang ada hanya akan menguntungkan beberapa stakeholders.
Banyak analis mengatakan bahwa sektor properti akan bergeliat di tahun 2024 karena adanya skema PPN DPT. Berdasarkan Indeks Harga Properti Nasional (IHPN) terdapat 9 kota mengalami peningkatan, 8 kota mengalami stagnansi, dan 1 kota mengalami penurunan (Bank Indonesia, 2024). Selanjutnya, terdapat beberapa masalah seputar perlambatan penjualan properti di tanah air seperti kenaikan harga bangunan (37,55 persen), perijinan (23,7 persen), suku bunga KPR (21,43 persen), dan tingginya proporsi uang muka pada pengajuan KPR (17,31 persen) yang membuat perlambatan pada pertumbuhan KPR dan KPA hanya sebesar 6,83 persen (YoY).
Pemerintah menilai kelas menengah kesulitan melakukan saving untuk membeli rumah, namun hal tersebut terjadi karena menipisnya tabungan masyarakat untuk bertahan menghadapi tingginya inflasi produk pangan. Hal ini terlihat dari Dana Pihak Ketiga (DPK) masyarakat yang hanya tumbuh 3,8 persen dan terendah sejak krisis finansial Asia (Bank Indonesia, 2023).
Demografi penduduk yang didominasi generasi milenial juga memberikan point of view baru dalam interpretasi data perekonomian aktual. Saat ini berkembang budaya "frugal living" di tengah masyarakat, karena membaiknya literasi keuangan dengan melakukan skala prioritas alokasi belanja.
Kredibilitas program TAPERA juga menjadi pertanyaan karena BPK RI (2024), melaporkan 124.960 peserta atau ahli waris belum menerima dana kelolaan yang nilainya mencapai Rp567 miliar. Hal tersebut tentu akan menimbulkan multi persepsi ditambah peleburan 7 BUMN Karya akibat faktor keuangan yang tidak sehat.
Bahkan beberapa waktu terakhir, Basuki Hadimuljono menyurati Kementerian BUMN RI agar tidak menggunakan APBN dalam pelunasan proyek yang sedang dikerjakan. Pengunduran diri Bambang Susantono dan Donny Rahajoe dalam susunan Otorita IKN juga menjadi tanda tanya karena bertepatan dengan hangatnya program TAPERA. Pertanyaannya apakah hadirnya program TAPERA menjadi bekal “soft landing legacy” untuk Pemerintah mendatang?
Perbaikan pengambilan kebijakan Pemerintah sudah sebaiknya menggunakan pendekatan bottom-up dan tidak mengintimidasi masyarakat. Circumstances gejolak global yang saat ini terjadi seharusnya dapat menjadi pertimbangan karena akibat berbagai gejolak tersebut hadir behaviour baru diantaranya adalah 'frugal living' karena tingginya angka strawberry dan sandwich generation yang seharusnya membuat Pemerintah memerhatikan kondisi sosio-ekonomi dalam pengambilan keputusan.
Budaya frugal living disebabkan oleh peningkatan pengeluaran masyarakat akibat pandemi COVID-19 dan berdampak pada ketimpangan dalam perekonomian (Kuriyama, 2023). Seharusnya, Pemerintah mengambil kebijakan yang pro-income dengan fokus meningkatkan pendapatan masyarakat agar terjadi perbaikan daya beli.
Perlambatan perekonomian yang terjadi saat ini merupakan siklus yang seharusnya diantisipasi Pemerintah dengan memberikan stimulus yang menjadi social safety net untuk masyarakat terutama kelas menengah yang jumlahnya 65% populasi (World Bank, 2022). Berbagai program bantalan sosial yang telah dibangun seharusnya dapat disinergikan dengan program jaminan sosial masyarakat seperti yang dilakukan di Singapura, Malaysia, China, Filipina, dan beberapa negara lain.
Sinergitas berbagai institusi dengan program yang sudah settle seperti program JHT dan JP oleh BPJS Ketenagakerjaan; pemberian PPN DTP perumahan rakyat oleh Kementerian Keuangan RI dan Kementerian PUPR; subsidi bunga KPR yang dibayarkan Pemerintah dan disalurkan perbankan dapat menjadi alternatif pilihan kebijakan yang diambil Pemerintah. Tingginya likuiditas perbankan dinilai cukup baik untuk mendukung program tersebut dengan dibantu stimulus yang diberikan Pemerintah melalui belanja yang berorientasi 'Money Follow Program'. (Jonathan Ersten Herawan, Staf Akademik PP ISEI dan Alumnus Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY)