KRjogja.com - WARGA masyarakat dan warganet menilai beberapa program pemerintah seperti Tapera, UKT, IKN, Bansos, cenderung menimbulkan kegaduhan sosial di ruang publik
jagat raya maupun jagat maya. Mengapa demikian? Sebab, beberapa program tersebut, dalam pelaksanaannya senantiasa menimbulkan peristiwa miskomunikasi.
Secara teoretis, konsep dari program pemerintah itu, bagus dan bermanfaat. Sayangnya, informasi atas keberadaan beberapa program pemerintah itu, dalam praktiknya tidak kontekstual peruntukannya. Alhasil memunculkan kejadian miskomunikasi.
Penyebab lainnya, apa yang disampaikan pemerintah sebagai pemilik kuasa atas program kerja itu, ternyata menuai ketidakberterimaan warga masyarakat dan warganet. Pada titik itulah muncul bencana sosial miskomunikasi.
Pemerintah sebagai komunikator memproduksi pesan: Tapera, UKT, IKN, Bansos, dinilai warga masyarakat dan warganet, tidak sanggup menghadirkan pesan verbal dan pesan visual sesuai peruntukannya bagi komunikan.
Dalam konteks ini, peristiwa miskomunikasi yang muncul akibat terjadinya relasi kuasa antara pemerintah sebagai penguasa versus warga masyarakat dan warganet sebagai pihak dikuasai.
Perseteruan relasi kuasa ini, sejatinya merupakan upaya memperebutkan ideologi kebenaran versi sempit. Siapa pelakunya? Tentu saja mereka yang mengaku dirinya sebagai pemilik otoritas relasi kuasa. Dalam konteks ini, ideologi relasi kuasa lebih menekankan pada polarisasi diksi benar vs salah serta patuh dan melanggar.
Perseteruan pengaruh ideologi benar versus salah serta patuh dan melanggar, dalam filsafat jawa dikenal sebagai perwujudan watak negatif: adigang, adigung, adiguna. Tafsirnya, pelaku relasi kuasa dan produsen miskomunikasi senantiasa mengedepankan kekuatan dan kekuasaannya (adigang).
Sedangkan sifat adigung merepresentasikan sikap sombong karena merasa memiliki adigang. Adapun adiguna mirip dengan adigung. Bedanya pada implementasi kesombongan intelektualitas.
Mereka, pelaku relasi kuasa, juga memposisikan diri sebagai penguasa dengan karakter dan watak: tan kena luput cinatur. Semuanya itu mereka lakukan demi mempertahankan kenyamanan singgasana kursi kekuasaan.
Dampak komunikasi visualnya, mereka, senantiasa menghasilkan kebijakan dan program kerja yang berujung miskomunikasi yang bermuara pada kegaduhan sosial di ruang publik dan medsos.
Ketika diksi benar versus salah serta oposisi biner patuh dan melanggar, dipolitisasi maupun dikapitalisasi secara sepihak oleh pemilik kuasa. Muncullah peristiwa miskomunikasi yang melibatkan pasukan okol (otot) melawan kelompok manusia yang mengedepankan akal pikiran dan nalar perasaan.
Dalam perspektif budaya visual, para pemuja diksi benar versus salah serta oposisi biner patuh dan melanggar ditengarai menjadi produsen miskomunikasi. Mereka, para produsen miskomunikasi, dapat dikategorikan sebagai penyandang cacat berbahasa dan tuna berkomunikasi di jagat raya maupun jagat maya.
Mereka melakukan jalan pintas seperti itu karena tuturan budi bahasanya tidak sejalan dengan pijakan perilakunya saat menjalankan proses komunikasi di ruang publik dan di medsos.
Terhadap fenomena tuna berkomunikasi dan cacat berbahasa, ditengarai para pemuja diksi benar vs salah serta oposisi biner patuh dan melanggar, telah terperosok ke dalam suatu ambiguitas sosial.