KRjogja.com - SENGKARUT menumpuknya ribuan kontainer impor di berbagai Pelabuhan, termasuk barang milik Pekerja Migran Indonesia, yang terjadi pada akhir tahun 2023 hingga triwulan pertama 2024 mendapat beragam tanggapan. Kritikan dimedia masa maupun media sosial cukup deras dan mendeskritkan pemerintah seakan tidak peka terhadap persoalan buruh migran, kebutuhan pelancong internasional, termasuk adanya problem deindustrialisasi di Indonesia.
Salah satu faktor bottleneck barang impor yang berujung penumpukan adalah tidak terpenuhinya persyaratan izin impor khususnya kewajiban Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 tahun 2023 tentang Kebijakan dan Peraturan Impor. Akibat kebijakan ini, tercatat pada Mei 2024 terdapat 17.304 kontainer barang impor di Pelabuhan Tanjung Priok dan sebanyak 9.111 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak yang belum bisa mengajukan Dokumen Pabean Impor karena kendala perizinan impor.
Baca Juga: 'Craft Fashion' Andalan Jogja Menuju Pusat Fesyen Dunia
Penumpukan tersebut menjadi atensi nasional karena ada protes dari pelaku industri yang barang impor bahan baku atau bahan penolong tidak bisa masuk berdampak pada terganggunya proses produksi industri manufaktur. Demikian juga dari para buruh migran yang mengirim barang hasil keringat kerja di luar negeri tidak bisa terkirim ke keluarganya.
Merespon atas derasnya kritikan tersebut dan mencoba mengurai permasalahan penumpukan kontainer di Pelabuhan, serta setelah ada arahan Presiden, Kementerian Perdagangan langsung melakukan relaksasi perizinan impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Permendag tersebut merupakan perubahan ketiga dari Permendag 36 Tahun 2023.
Keluarnya kebijakan tersebut mendapat respon beragam, ada yang merespon positif namun ada pula respon negatif. Sebagai kebijakan publik, pasti akan mendapat respon yang beragam yang bersifat pro dan kontra. Kebijakan publik, termasuk relaksasi impor ini berusaha menjawab permasalahan yang sekarang muncul, namun sisi lain pasti akan memunculkan problem baru karena keragaman kepentingan stakeholders dari sebuah kebijakan publik.
Baca Juga: Tantowi Yahya Bernyanyi dan Bersenandung di Yogya
Kebijakan relaksasi impor mendapat respon positif yang cukup melegakan para Pekerja Migran Indonesia sehingga bisa mengambil barang miliknya yang tertahan di pelabuhan. Beragam jenis barang seperti pakaian dan barang elektronik dibeli oleh pekerja migran sebagai asset pribadi dan sangat wajar dibawa pulang ataupun dikirim ke keluarganya. Hasil kerja buruh migran tidak semua kirim dalam bentuk uang, namun banyak juga yang kirim dalam bentuk barang yang sifatnya untuk digunakan sendiri, bukan diperdagangkan. Namun karena ada kebijakan izin impor menjadikan semua barang tertahan, dan dengan relaksasi impor tersebut menjadikan sekarang pengiriman barang milik pekerja migran menjadi lebih mudah.
Demikian halnya para pelaku industri manufaktur yang memerlukan barang impor bahan baku atau bahan penolong merasakan ada kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan bahan penolong produksi. Banyaknya penduduk di Indonesia dengan daya beliya masih prospektif menjadi pasar produk industri.
Baca Juga: Lulusan Poltekpel Harus Tingkatkan Kemampuan Sehingga Dapat Bersaing di Kancah Internasional
Sisi lain, relaksasi impor khususnya pada produk final menjadi simalakama bagi industri domestik. Sebagai contoh industri tekstil dan barang jadi tekstik akan langsung terkena dampaknya. Kebijakan tersebut menjadikan produk domestik tidak kompetitif karena akan terjadi banjir produk barang jadi impor. Adanya dilemma tersebut, sangat wajar untuk bedah kebijakan agar tujuan kebijakan tercapai efektif dengan koreksi bagian kebijakan yang menimbulkan dampak negatif yang luas. (Ahmad Ma’ruf adalah Dosen Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Peneliti Inspect dan Pengurus ISEI DIY)