KRjogja.com - ISTILAH “Generasi Stroberi” telah menjadi label yang populer untuk menggambarkan orang dewasa muda, terutama mereka yang lahir pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Istilah ini sering digunakan untuk menyoroti sifat-sifat anak muda yang dianggap rapuh dan sensitif, seperti buah stroberi yang mudah memar. Namun, label ini lebih banyak merugikan daripada menguntungkan karena mengaburkan masalah-masalah yang nyata dan mendesak di tempat kerja.
Asal-usul dan Implikasi dari Label “Generasi Stroberi”
Istilah “Generasi Stroberi” berasal dari Asia Timur, khususnya di Taiwan dan Hong Kong, dan sejak saat itu menyebar secara global. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang dianggap kurang tangguh dan lebih rentan terhadap stres dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Stereotip ini menunjukkan bahwa pekerja muda tidak dapat menangani kritik, tekanan kerja, atau tuntutan kehidupan profesional, sehingga menggambarkan mereka sebagai orang yang lemah atau terlalu sensitif.
Meskipun beberapa orang mungkin berpendapat bahwa ada sedikit kebenaran dari persepsi ini, penerapan label ini secara luas adalah bermasalah. Label ini menyederhanakan dinamika generasi yang kompleks dan mengabaikan perubahan sosio-ekonomi dan teknologi yang telah membentuk pengalaman dan sikap anak muda saat ini.
Kurangnya Bukti Ilmiah di Balik Generasi Stroberi
Penting untuk dicatat bahwa istilah “Generasi Stroberi” biasanya tidak didasarkan pada bukti ilmiah. Sebaliknya, istilah ini berasal dari persepsi budaya dan pengamatan masyarakat. Meskipun mungkin ada bukti anekdot atau data observasi yang mendukung adanya tren masyarakat tertentu atau perbedaan generasi, istilah itu sendiri cenderung menyederhanakan dan menyamaratakan isu-isu kompleks yang berkaitan dengan kesehatan mental, dinamika tempat kerja, dan perubahan sosial.
Penelitian ilmiah tentang perbedaan generasi dan perilaku di tempat kerja memang ada, tetapi sering kali berfokus pada tren dan pola yang lebih luas daripada melabeli generasi tertentu dengan istilah-istilah yang merendahkan. Penelitian dapat meneliti faktor-faktor seperti adaptasi teknologi, gaya komunikasi, dan ekspektasi karier di berbagai kelompok usia, namun biasanya menghindari penggunaan istilah seperti “Generasi Stroberi” karena sifatnya yang subyektif dan berpotensi membahayakan.
Masalah Nyata yang Dihadapi Pekerja Muda
Beberapa masalah utama yang dihadapi para pekerja muda adalah masalah kesehatan mental, tekanan ekonomi, perubahan teknologi yang cepat, dan keseimbangan kehidupan kerja. Para pekerja muda sering merasakan stres yang tinggi akibat ekspektasi yang tinggi, ketidakpastian kerja, dan lingkungan kerja yang serba cepat. Masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi sering diabaikan dan dianggap sebagai tanda kelemahan daripada masalah serius. Banyak pekerja muda juga menghadapi masalah tekanan ekonomi, meningkatnya biaya pendidikan dan kesulitan menemukan pekerjaan yang stabil dan dengan gaji yang tinggi. Kemajuan teknologi yang pesat juga menjadi tantangan, karena pekerja muda harus terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi tanpa dukungan atau pelatihan yang memadai. Selain itu, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi juga menjadi sulit, karena pengunaan teknologi digital di tempat kerja, yang membuat pekerja tidak dapat lepas dari pekerjaan mereka.
Dampak Stereotip Generasi Stroberi dan Cara Penganggulangannya
Menyebut pekerja muda sebagai "Generasi Stroberi" dapat menyebabkan dampak negatif dalam lingkungan kerja. Untuk mengatasi tantangan ini, ada beberapa pendekatan konstruktif yang dapat dilakukan. Pertama, perlu dipromosikan kesadaran akan kesehatan mental dengan menyediakan layanan konseling dan program manajemen stres. Selain itu, perusahaan juga dapat berinvestasi dalam pelatihan dan pengembangan, sehingga pekerja muda dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi dan meningkatkan karier mereka. Selain itu, penting untuk mendorong keseimbangan kehidupan-kerja (work life balance) dengan kebijakan kerja yang fleksibel, sehingga meningkatkan kepuasan kerja dan mengurangi kejenuhan di kalangan pekerja muda. Terakhir, intinya, artikel ini mengajak kita lebih kritis terhadap terhadap stereotip, karena banyak bukti ilmiah bahwa stereotip hanya memperbesar konflik antar kelompok, bukan mendatangkan sinergi dan kolaborasi dalam organisasi. (Tegar Satya Putra, Dosen FBE Universitas Atma Jaya Yogyakarta)