opini

Merdeka Tanda Seru atau Merdeka Tanda Tanya

Senin, 19 Agustus 2024 | 21:24 WIB
Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum.


KRjogja.com - Di setiap kala, ketika kita merayakan kemerdekaan, tampaknya selalu ada satu hal yang lupa. Yakni lupa mempertanyakan, apakah hakikat kemerdekaan yang setiap tahun dirayakan oleh segenap bangsa ini, lebih sebagai “tanda seru” ataukah “tanda tanya”.

Merdeka dalam tanda seru, menyodorkan pemahaman sebagai sebuah pernyataan tentang kebebasan dan kedaulatan. Sementara merdeka dalam tanda tanya, mengisyaratkan keraguan terhadap makna kemerdekaan itu sendiri yang sebenarnya. Dalam refleksi kritis ini, kita akan menelisik lebih jauh, bukan hanya memahami kemerdekaan dari perspektif sejarahnya, tetapi juga kondisi aktual yang kerapkali memang mengaburkan esensi dari kata merdeka.

Persoalan mendasar ini menjadi sangat relevan bahkan penting dan strategs disampaikan, di tengah carut-marut kondisi bangsa yang semakin kompleks dan seringkali memperlihatkan gejala keterpurukan moral, sosial, dan politik dengan segala narasi besarnya.

Ambiguitas Makna

Secara historis, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah peristiwa monumental yang menandai berakhirnya penjajahan dan lahirnya sebuah bangsa Indonesia yang merdeka. Namun, pemaknaan kemerdekaan yang hakiki, tidak bisa hanya disandarkan dari kacamata sejarah semata. Kemerdekaan, sejatinya bukanlah sekadar pencapaian politis (de yure), tetapi juga kondisi nyata (de facto) yang mesti secara terus-menerus dimaknai dan diperjuangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di sinilah letak dilema ambiguitas antara merdeka tanda seru dan merdeka tanda tanya.

Di satu sisi, kita dapat memandang kemerdekaan seolah-olah sebagai sebuah capaian final dan absolut, merdeka tanda seru yang menandakan kebebasan penuh dari belenggu penjajahan secara fisik. Namun, kenyataan yang kita hadapi justru menunjukkan, bahwa penjajahan kini telah bertransformasi menjadi bentuk-bentuk lain yang lebih halus dan seringkali tak kasat mata—baik itu penjajahan ekonomi, budaya, hingga ideologi. Dalam konteks ini, kemerdekaan tidak lagi bisa dianggap final; ia menjadi sebuah proses yang dinamis dan memerlukan upaya terus-menerus untuk direalisasikan secara substantif.

Ambiguitas makna kemerdekaan itu bahkan semakin tampak, ketika kita melihat kondisi di segala persoalan kehidupan kontemporer bangsa saat ini. Fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kian merajalela, ketimpangan sosial yang semakin melebar, hingga politik identitas yang mengancam persatuan bangsa, serta seribu satu persoalan amat krusial yang tengah diidap nyaris sempurna di sekujur tubuh dan wajah bangsa ini, adalah bukti otentik bahwa pernyataan kemerdekaan kita, masih layak untuk dipertanyakan adanya.

Merdeka Dari dan Merdeka Untuk

Dalam perspektif filosofis, penting untuk memperhatikan adanya dua paradigma dalam memahami kemerdekaan, yakni pertama sebagai “merdeka dari” (freedom of from) dan kedua “merdeka untuk” (freedom of for). Kedua konsep tersebut, sering dikaitkan dengan pemikiran filsuf politik Isaiah Berlin, Profesor Teori Sosial dan Politik dari Oxford University. Dalam esainya yang berjudul Two Concepts of Liberty (1958), Berlin memperkenalkan perbedaan antara kebebasan negatif (negative liberty) dan kebebasan positif (positive liberty).

Kebebasan negatif, diidentikkan dengan kebebasan yang sempit (chauvisnitic) dan karenanya dekat dengan konsep freedom of from, merujuk pada makna kebebasan yang semata-mata dikaitkan dengan persoalan dari campur tangan atau penindasan eksternal. Kemerdekaan model ini dipahami sebagai pencapaian yang sudah selesai, seolah-olah kebebasan telah sepenuhnya tercapai. Ini adalah bentuk makna kebebasan yang statis dan sering dirayakan sebagai pernyataan historis.

Sementara sebaliknya kebebasan positif, adalah kebebasan yang maknanya lebih komprehensif, yang bisa diidentikkan dengan makna freedom of for, yang merujuk pada kebebasan untuk mengejar tujuan yang lebih bermakna, mewujudkan potensi diri, dan menjadi tuan atas nasib sendiri. Pemaknaan ini menuntut kita untuk merenungkan kemerdekaan secara lebih kritis dan dinamis, berfokus pada kebebasan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, seperti keadilan dan kemakmuran bersama. Pandangan ini menekankan pentingnya tanggung jawab, untuk memanfaatkan kemerdekaan dalam mengembangkan potensi segenap warga bangsa, sambil mempertanyakan apakah perayaan kemerdekaan benar-benar membawa kita lebih dekat kepada cita-cita luhur atau hanya menjadi ritual kosong belaka.

Penutup

Pada peringatan kemerdekaan kali ini, kita perlu merenung lebih dalam tentang makna sejati dari kata "merdeka." Apakah kemerdekaan kita adalah “tanda seru”—sebuah pernyataan yang tegas dan final, atau “tanda tanya”—sebuah pertanyaan yang terus-menerus menggelisahkan kita. Menjawab pertanyaan ini bukanlah perkara mudah, tetapi langkah pertama adalah mengakui bahwa kemerdekaan, dalam segala bentuknya, adalah proses yang berkelanjutan dan menuntut kita untuk selalu kritis terhadap kondisi yang ada.

Refleksi ini mengajak kita untuk tidak sekadar berpuas diri dengan simbol-simbol kemerdekaan, yang kerapkali semu bahkan menyesatkan, tetapi lebih dari itu, untuk terus berjuang mewujudkan kemerdekaan yang sejati—baik secara individual maupun kolektif sebagai bangsa. Kemerdekaan adalah bukan hanya soal terbebas dari penjajahan fisik, tetapi yang utama adalah tentang risalah proses pemerdekaan diri secara internal sebagai bangsa dalam mengelola segala aspek kehidupan demi kebaikan bersama. Agar kita bisa benar-benar mengatakan dengan yakin: “Merdeka!”, dengan tanda Seru. Bukan “Merdeka?”, dengan tanda Tanya.(Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum., Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta)

 

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB