KRjogja.com - INDONESIA memang spesial. Ketika perayaan hari kemerdekaan ke-79, masyarakat dari 1340 suku tumpah ruah bersatu menampilkan segala keunikannya. Diawali dengan tuguran, tirakatan, berdoa dan ‘umak-umik’ di seantero kampung, upacara seremonial dan diakhiri dengan lomba, festival, karnaval dam sebagainya.
Semua menunjukkan entitas budaya bangsa yang tampak bebas dan berdaulat. Tampilan para artisnya membawa aura suatu ‘kemerdekaan’ hasil jerih payah luhur bangsa ini. Kemeriahan ini sungguh mengagumkan dan menarik animo wisatawan ikut larut di dalamnya.
Namun tiba-tiba, sang kawan menyeruak dan mengajukan pertanyaan, apakah di era global ini Indonesia memang benar sudah merdeka?
Dalam konteks kebebasan dari penjajahan fisik memang sudah lewat, tetapi yang gawat justu muncul penjajahan gaya baru yaitu budaya.
Baca Juga: Indonesia Ingin Berdaulat Pangan 2045, Ahli Bagikan Fakta Ini
Sektor budaya pangan, dikooptasi biji gandum dan meslin (2023), serealia yang tidak pernah dapat ditanam di Indonesia, nilainya US$45,29 juta CIF. Gandum sebagai bahan baku terigu, roti, mie dan penganan kudapan lainnya menggusur pisang, singkong bahkan beras.
Pemerintah sudah mengembangkan sorghum (cantel) atau alternatif pangan lain, tetapi masih belum sukses. Impor kapas, bahan pakaian yang dikenakan para artis tadi mencapai US$ 472,45 juta CIF. Belum lagi merajalelanya warung waralaba internasional semacam KFC, McD, Starbuck, Domino’s Pizza, dan masih banyak lagi yang menawarkan jajanan kekinian ala barat, menekan ayam goreng Nyah Harti, Mbah Cemplung, Bu Tini dan lainnya.
Tom yam, burger, takoyaki lebih digemari dibandingkan gastronomi lokal seperti brongkos, rawon, pecel bunga turi, jajanan pasar (cenil, gatot, thiwul, lopis, cemplon, rondo royal, semar mendem dll) yang mungkin Gen. Z dan alpha malah belum tentu pernah mendengarnya.
Penjajahan budaya masuk juga melalui barang fashion (busana, sepatu, tas, perhiasan, aksesoris) dan perilaku. Orang merasa lebih keren jika mengenakan brand impor, dan berbahasa asing untuk bicara dibandingkan bahasa daerah, yang justru sering menjadi momok pelajaran siswa di sekolah.
Baca Juga: Tips Dapatkan Harga Murah di Indomaret
Lain itu, Gangnam style lagu K- Pop yang memparodikan gaya hidup flamboyan dan narsisme lebih disukai dibandingkan ‘nembang’. Masyarakat juga mulai lupa memanggil orang tuanya dengan sebutan bapak, ibu, emak bahkan simbok yang dianggap kuno.
Infiltrasi budaya asing, baik melalui asimilasi, difusi atau akulturasi, dengan melupakan kebudayaan tradisional aslinya, mengganggu kemerdekaan bangsa, yang ujungnya mengancam keunikan sumberdayanya. Ada humor dalam puisi Karl Kraus (1874-1936), yang berbunyi “Wenn die Sonne der Kultur tief steht, werfen selbst Zwerge lange Schatten” - ketika matahari mulai rendah (terbenam), bahkan para kurcaci pun membuat bayangan yang panjang. Maknanya, jika suatu bangsa mengalami kemunduran (dalam budaya), maka munculah orang-orang yang tidak kompeten akan menguasai ruang publik.
Kalau begitu pantas disimak pendapat Henry Kissinger pula, mantan Menteri luar negeri USA, yang mengatakan ‘jika anda ingin memiliki sebuah negara kuasailah sumber energinya, tetapi jika anda ingin menaklukkan sebuah bangsa, maka kuasailah budayanya’.
Baca Juga: KAI Bandara Kembangkan Bisnis MOSS, Dukung Suku Cadang Kereta Api di Indonesia
Kebebasan hakiki niscaya tercapai jika masyarakat memiliki kesadaran berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) merawat kebudayaannya. Kemerdekaan sebagai pilihan tujuan, perlu upaya gigih yang konkret, tidak lekang oleh zaman dan pemahaman kognitif yang holistik. Tentu dalam merawat budaya, harus selalu dilatih terus menerus, agar masyarakat ‘belajar Merdeka’, bukan hanya sekedar ‘Merdeka belajar’. (Dr Amiluhur Soeroso MM MSc CHE, dosen Stipram, ISEI, Inruka & Javanologi)