opini

Menilik Kembali 'Gig Worker'

Selasa, 3 September 2024 | 10:50 WIB
Debora Wintriarsi Handoko, SE., MM., MSc.

KRjogja.com - AKHIR Agustus 2024 lalu, headline portal berita dipenuhi berita tentang aksi unjuk rasa driver ojek online di Jakarta dan beberapa wilayah lainnya. Terdapat 6 poin tuntutan yang disampaikan dalam unjuk rasa itu. Meski bukan kali pertama, namun unjuk rasa dengan permasalahan serupa memantik diskusi menarik mengenai “Gig Worker” dari sudut pandang pengelolaan sumber daya manusia masa kini.

Apa itu “Gig Worker”? Saat ini, tidak semua pekerja dapat disebut karyawan. Upwork (www.upwork.com) mendefinisikan “Gig Worker” sebagai seseorang yang mengambil pekerjaan jangka pendek atau berbasis proyek. Pekerja gig tersebut sering kali memilih menawarkan jasanya untuk beberapa klien sekaligus, daripada dipekerjakan oleh satu perusahaan saja. Dalam konteks global, pekerja gig dikategorikan sebagai independent contractor/worker untuk membedakannya dengan karyawan di sektor formal. Berkembangnya teknologi serta dampak pandemi Covid-19 disebut menjadi pendorong pesatnya peluang masyarakat menjadi “Gig Worker”. Hal ini juga sejalan dengan munculnya “Gig Economy”, di mana terjadi pergeseran dalam cara masyarakat memandang sebuah pekerjaan.

Baca Juga: Fun Run PLN Mobile 2024 Berlangsung Meriah

Saat ini masyarakat tidak lagi melihat pekerjaan dalam sistem tradisional, namun mulai memilih untuk menjadi “Gig Worker” karena adanya fleksibilitas dan kebebasan untuk mengaktualisasikan dirinya. Hingga saat ini, sulit menemukan angka pasti jumlah pekerja gig di Indonesia, karena begitu beragam dan luasnya jenis pekerjaan ini. Sebut saja “freelancer” yang melakukan pekerjaan secara online seperti penerjemah, desainer grafis, analis data, penulis, pengembang software, social media specialist, asisten administrasi virtual, tutor, hingga mereka yang melakukan jasa antar dan kurir seperti mitra ojek online. Fleksibilitas waktu, tempat, serta persyaratan ketenagakerjaan yang tidak serumit pekerjaan formal (karyawan), menjadi daya tarik masyarakat yang membutuhkan ruang untuk berkerja dan memperoleh pendapatan.

Menilik kembali unjuk rasa driver ojek online yang lalu, bukan tidak mungkin permasalahan pekerja gig masih menjadi bola panas yang tidak mudah dicari solusinya. Tentu saja, banyak pihak terlibat dalam “Gig Economy” ini. Dari sudut pandang pemberi kerja, munculnya pekerja gig ternyata belum sepenuhnya diimbangi dengan perencaan pengelolaan tenaga kerja secara holistik. Dalam kasus ojek online, kemitraan merupakan pola hubungan perusahaan-pekerja yang rentan karena tidak mampu melindungi hak mitra driver sebagai pekerja gig. Dalam kasus yang lebih luas, meskipun pekerja gig memiliki fleksibilitas tinggi, serta potensi mendapatkan penghasilan tanpa perlu menjadi pekerja formal, namun hingga saat ini proteksi kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia belum mampu sepenuhnya melindungi jenis pekerjaan ini.

Baca Juga: Mahasiswi KKNT Internasional UAA Ajarkan Anak-anak SB Klang Lama Malaysia untuk Kenal Pesona Batik Kawung dengan Media Gambar

Salah satunya adalah kebijakan proteksi keamanan dan kesehatan kerja, serta kesejahteraan mental dan sosial pekerja gig. Jenis pekerja ini memiliki jam kerja fleksibel yang tidak memiliki batas perbedaan waktu antar geografis. Hal ini dapat menimbulkan potensi adanya konflik komitmen dengan kehidupan pribadi, yang diperlukan sebagai seorang pekerja. Selain itu, kesempatan pekerja gig untuk mendapatkan benefit seperti cuti, dan tunjangan khusus lainnya juga tidak sepenuhnya diterima. Hal-hal tersebut berbanding terbalik dengan standar kinerja (target) tinggi yang sering diterima pekerja gig. Mereka juga tidak mendapatkan proses onboarding dan pelatihan yang cukup, sehingga pekerja gig kerap mengalokasikan waktu lebih banyak untuk menyesuaikan diri dengan tantangan kinerja tersebut.

Dari berbagai tantangan di atas, bagaimanapun juga, “Gig Economy” sering dianggap menjadi solusi atas kurangnya lapangan kerja di suatu negara. Berbagai catatan survey menyebutkan bahwa angka pekerja informal di setiap negara saat ini terus meningkat. World Economic Forum menyampaikan bahwa hal ini menjadi tantangan khusus bagi pengelolaan sumber daya manusia di setiap sektor. Jika mayoritas organisasi terbiasa mengelola pekerja formal (karyawan) secara tradisional, saat ini sudah saatnya mulai beradaptasi dan meluaskan kebijakan praktik-praktik SDM secara non-tradisional, bagi para pekerja informal (“Gig Worker”). Seiring dengan tingginya angkatan kerja dan kesempatan kerja di bidang informal ini, maka pemerintah, pemberi kerja, serta pekerja gig perlu terus bekerjasama untuk menjadikan ekosistem “Gig Economy” lebih ramah dan nyaman. (Debora Wintriarsi Handoko, SE., MM., MSc., Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB