KRjogja.com - TRANSFORMASI digital nasional meningkat tajam dalam lima tahun terakhir. Kencangnya digitalisasi ekonomi dan keuangan tersebut didorong oleh menguatnya partisipasi ekonomi generasi milenial, Z, dan Alpha; inovasi pembayaran digital yang semakin deras dan berfokus pada kebutuhan dan preferensi konsumen; dan interkoneksi transaksi ekonomi dan keuangan lintas negara yang semakin menguat.
Nilai pembayaran digital Indonesia mencapai Rp59.410,73 triliun atau 3x lipat nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 dan tumbuh 116,6% dibandingkan dengan tahun 2019. Transaksi ritel melalui kanal digital banking, kartu debit, kartu kredit, dan uang elektronik meningkat signifikan dengan total nilai transaksi Rp244.673 triliun. Sementara itu, volume transaksi ritel yang diproses melalui kanal digital (aplikasi mobile dan internet) menyentuh 25,3 miliar transaksi pada tahun 2023 atau lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2019. Saat ini, 90% bank umum di Indonesia telah dilengkapi dengan kanal mobile digital untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Standar Nasional Open-API Pembayaran (SNAP) telah digunakan oleh 71 Sistem Pembayaran Jasa Keuangan dan 6.667 pengguna hingga Juni 2024. Transaksi menggunakan SNAP mencapai Rp3.069 Triliun dengan volume transaksi mencapai 6.217 juta. BI-FAST tumbuh 177,2% (yoy) dengan volume transaksi mencapai 4.224,2 juta hingga Juni 2024. Peserta BI-FAST mencakup 25 peserta langsung dan 99 peserta tidak langsung yang terdiri dari bank dan nonbank.
Pengguna QRIS tercatat 32,7 juta merchant dan 50,5 juta pengguna, tumbuh 160,8% (yoy) hingga Juni 2024. Transaksi digital juga telah menyentuh 85% pemerintah daerah kabupaten dan kota yang telah masuk dalam tahap digital, terhitung dari program penyaluran bantuan sosial non tunai hingga Kartu Kredit Indonesia segmen pemerintah. Porsi bantuan sosial sebanyak 79% telah disalurkan melalui transaksi digital.
Berdasar informasi tersebut, nampak sedemikian kencangnya digitalisasi ekonomi dan keuangan telah merambah seluruh kalangan di berbagai wilayah. Namun, dibalik itu semua kita perlu mewaspadai terhadap lima tantangan yang masih melingkupi kita semua. Kelima tantangan tersebut adalah eksalasi risiko siber, rendahnya literasi digital, peningkatan fraud, maraknya transaksi ilegal, dan isu perlindungan konsumen.
Eskalasi risiko siber terkait dengan peningkatan tingkat ancaman yang berpotensi menimbulkan kerugian akibat serangan siber dengan pelaku menggunakan teknik seperti malware, serangan zero-day, atau ransomware. Rendahnya literasi digital terkait pada kurangnya kemampuan seseorang dalam menggunakan teknologi digital secara efektif dan aman. Ini mencakup pemahaman yang terbatas tentang cara kerja perangkat digital, internet, aplikasi, serta kemampuan untuk mengenali dan melindungi diri dari risiko online, seperti penipuan siber, hoaks, atau peretasan.
Peningkatan fraud dalam berbagai sektor, terutama yang terjadi secara digital, menjadi masalah serius di era yang semakin terhubung dengan teknologi. Fraud terjadi dalam berbagai bentuk, seperti penipuan identitas, penipuan transaksi keuangan, phishing, hingga manipulasi data. Transaksi ilegal terkait dengan segala bentuk transaksi atau aktivitas perdagangan yang melanggar hukum atau peraturan yang berlaku. Transaksi ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik secara offline maupun online, dan mencakup sejumlah tindakan kriminal, seperti penjualan barang atau jasa terlarang, pencucian uang, dan transaksi finansial yang tidak dilaporkan.
Isu perlindungan konsumen terkait dengan hak-hak dan keamanan konsumen dalam melakukan transaksi atau menggunakan produk dan layanan. Perlindungan konsumen berfokus pada memastikan bahwa konsumen tidak mengalami kerugian, baik dari segi fisik, finansial, maupun informasi, saat membeli atau menggunakan produk dan layanan yang dibutuhkan.
Berdasar perkembangan digitalisasi ekonomi dan keuangan yang sedemikian kencangnya dan kelima tantangan yang melingkupinya, maka prospek kenaikan transaksi digital di masa depan memerlukan tiga respon. Pertama, dukungan infrastruktur yang berdaya tahan dan sinergis. Kedua, dukungan struktur industri yang konsolidatif dan mampu memitigasi risiko shadow banking. Ketiga, kolaborasi antara Bank Indonesia dan industri dalam mendorong inovasi dan akseptasi secara seimbang guna memperkuat literasi dan pelindungan konsumen. (Dr. Rudy Badrudin, M.Si. Dosen Tetap STIE YKPN Yogyakarta, Pengurus ISEI, dan Peneliti Senior PT. Sinergi Visi Utama)