KRjogja.com - DALAM beberapa tahun ke depan sumber daya anak muda Indonesia masih menjadi bonus demografi dengan jumlah usia produktif mencapai 64% dari total jumlah penduduk sekitar 297 juta jiwa (BPS, 2021). Jika usia produktif ini ditopang dengan literasi yang tinggi, akan terjadi lompatan besar bagi penguatan potensi manusia dan kapasitas ekonomi. Artinya, bangsa Indonesia menjadi negara maju dengan sumber daya anak muda bermutu sehingga sistem politik yang modern, rasa kesatuan bangsa, maupun kemakmuran bangsa dapat dicapai.
Yang menjadi permasalahan adalah fenomena yang menggambarkan literasi masyarakat masih tampak betul belum optimal. Kita bisa mulai melihat dari perilaku kejahatan yang kian hari kian memuncak, perundungan di perguruan tinggi terus berkembang, kejahatan “akademis” yang tumbuh subur, masalah-masalah gelar akademik, keributan-keributan di ranah rumah tangga makin menjadi, kasus pembunuhan dari persoalan sepele, perebutan kekuasaan di ranah partai, perebutan kekuasaan di ranah organisasi nirlaba, hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Bahkan, terakhir ditangkapnya tiga hakim yang membebaskan terdakwa dalam kasus pembunuhan dengan temuan barang bukti yang fantastis berupa uang hampir mencapai satu trilyun dan emas batangan seberat 51 kg. Atau, korupsi tambang yang mencapai angka 351 trilyun. Lalu, apa yang menjadi harapan kita dari bonus demografi yang digadang-gadang akan menjadikan Indonesia menjadi negara dengan PDB kelima terbesar di dunia mencapai 23.993 USD di tahun 2045?
Perlunya masyarakat literat
Tentulah diperlukan solusi. Salah satunya adalah menciptakan masyarakat literat. Telah terjadi perluasan dan pendalaman terkait dengan masyarakat literat. Pada mulanya masyarakat literat didefinisikan sebagai tingkat melek huruf dengan parameter bisa membaca dan menulis. Seiring waktu, konsep literasi mengalami pergeseran lebih luas sebagai kemampuan membaca dan menulis di semua media (cetak atau elektronik), termasuk literasi digital. Bahkan, perluasan semakin strategis dengan konsep kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, mengkomunikasikan, dan menghitung, menggunakan bahan cetak dan tertulis yang dikaitkan dengan berbagai konteks. Perluasan ini seiring dengan perkembangan teknologi informasi menjadi kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, mengevaluasi, membuat, menghitung, dan berkomunikasi menggunakan materi visual, suara, dan digital lintas disiplin ilmu dan dalam konteks apa pun (Asosiasi Literasi Internasional tahun 2021).
Dapatlah kiranya disepakati bahwa masyarakat literat di masa kini merujuk pada kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan literasi yang tinggi, baik dalam konteks literasi dasar maupun maupun literasi digital. Definisi Ini menggambarkan parameter masyarakat literat yang akan berdampak pada terbentuknya masyarakat yang mampu berpikir analitis, kritis, dan kreatif sehingga mampu mencari solusi dari setiap masalah yang dihadapi.
Apa yang terjadi jika masyarakat belum literat? Kondisi sebaliknya adalah masyarakat iliterat. Masyarakat demikian belum menjadi masyarakat yang mampu membaca dan menulis serta belum mampu mengolah informasi secara analitis, kritis, dan kreatif. Beberapa faktor pernyebabnya pada umumnya adalah belum meratanya pendidikan. Akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang optimal sangat bervariasi antarwilayah. Akibatnya, banyak masyarakat yang tingkat pendidikannya belum memadai. Kesenjangan digital dalam bentuk rendahnya akses informasi dari sebagian besar masyarakat kita sehingga sebaran informasi di era kelimpahan informasi berlum termanfaatkan dengan baik. Banyaknya hoaks juga menjadi pemicu masyarakat iliterat. Artinya, masyarakat iliterat adalah masyarakat yang terlempar dari akses pendidikan. Masyarakat demikian tidak akan mampu mengenali sumber informasi yang kredibel dan membedakan antara fakta dengan opini.
Kontribusi Bahasa Indonesia
Salah satu piranti berdirinya bangsa dan negara Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran para pemuda untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Puisi yang berjudul Sumpah Pemuda pada bait ketiga berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Sungguh bait “puisi” yang sangat indah dan mengandung unsur “magis” yang luar biasa karena mampu “menghipnotis” para pemuda untuk mempersiapkan berdirinya bangsa dan negara Indonesia di kelak kemudian hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak menggunakan bahasa Indonesia. Artinya, keberadaan Bahasa Indonesia menjadi sangat penting di Indonesia. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, bahasa Indonesia memiliki dua fungsi, yakni sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, kedudukan bahasa Indonesia ditetapkan melalui Sumpah Pemuda (1928). Sementara itu, sebagai bahasa negara, kedudukan Bahasa Indonesia diatur dalam UUD 1945.
Sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia memiliki beberapa peran penting, yakni sebagai simbol kebanggaan nasional, sebagai identitas nasional, sebagai alat pemersatu bangsa yang beragam latar belakangnya, sebagai jembatan untuk menghubungkan berbagai budaya dan daerah di Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mengutamakan kesatuan bangsa di atas kepentingan golongan atau daerah.
Fungsi Bahasa Indonesia kedua adalah sebagai bahasa resmi negara yang digunakan secara lisan dan tertulis dalam kegiatan kenegaraan, termasuk pidato, dokumen resmi, dan sidang penting. Selain itu, bahasa Indonesia juga digunakan sebagai bahasa pengantar di semua lembaga pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai alat komunikasi resmi dalam urusan nasional, seperti perencanaan pembangunan dan pemerintahan. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi dalam pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, Bahasa Indonesia digunakan untuk membangun dan membina budaya dan keilmuan nasional, yang mencerminkan identitas persatuan Indonesia, bukan hanya identitas daerah. Bahkan, saat ini Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi UNESCO.
Sangat jelas bahwa visi Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi pusat pengembangan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Visi ini tentulah seiring-sejalan dengan konteks masa kini, yakni sebagai pembentuk masyarakat literat. Bangsa yang menghargai bahasanya akan lebih terdorong untuk menjaga dan memajukan dan menciptakan masyakat literat. Masyarakat literat menjadi bagian penting yang harus hadir di tengah derasnya arus informasi dan teknologi. Masyarakat literat ditandai dengan kemampuan membaca dan menulis yang ditindaklanjuti dengan kemampuan memahami, menganalisis, dan mengaplikasikan informasi secara kritis. Masyarakat literat adalah kunci untuk menciptakan individu yang mandiri, inovatif, dan mampu berkontribusi secara positif terhadap pembangunan sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, bonus demografi betul-betul kita kuatkan melalui strategi yang tepat melalui penciptaan masyarakat literat. Jika ini dicapai, visi Indonesia Emas di tahun 2045 menjadi negara ke-5 terbesar di dunia tentulah bukan hanya mimpi, tetapi sungguh menjadi kenyataan seperti diprediksi oleh para analis McKinsey Global Institute (2012) bahwa di tahun 2030 Indonesia akan menjadi negeri ke-7 terbesar di dunia atau Pricewaterhouse Coopers (2017) bahwa Indonesia akan menjadi negara ke-4 terbesar di dunia pada tahun 2050. Oleh karena itu, perlu didorong agar masyarakat literat sebagai salah satu strategi pengembangan sumber daya manusia tetap harus diutamakan secara merata, di samping pembangunan infrastruktur. Sinergi antar-perguruan tinggi, sekolah, Pemerintah, dan Masyarakat menjadi salah pilar kekuatan untuk mencapainya. (Prof Dr Maman Suryaman, Guru Besar Fakultas Bahasa, Seni dan Budaya UNY)