opini

Menghapus Hutang Petani dan UMKM

Senin, 18 November 2024 | 16:00 WIB
Catur Sugiyanto.

KRjogja.com - SEJAK Orde Baru, pemerintah telah beberapa kali mengambil kebijakan penghapusan utang petani. Langkah ini dilakukan untuk membantu petani yang mengalami kesulitan finansial akibat berbagai faktor, seperti gagal panen, krisis ekonomi, atau kondisi lain di luar kendali mereka. Namun, di balik kebijakan ini, apakah akan muncul moral hazard? Bagaimana menanggulangi perilaku ini?

Pemerintahan Prabowo mengambil langkah serupa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024. Kebijakan ini menghapus utang macet bagi petani, nelayan, dan pelaku UMKM hingga batas maksimal Rp 300 juta untuk individu dan Rp 500 juta untuk badan usaha. Langkah ini bertujuan untuk meringankan beban sekitar 1 juta debitur yang terdampak bencana atau krisis ekonomi.

Pada tahun 1980-an, pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Tani (KUT) sebagai bagian dari program Revolusi Hijau. Kredit ini diberikan kepada petani kecil untuk mendukung peningkatan produksi pangan. Namun, kegagalan panen akibat bencana alam dan serangan hama menyebabkan banyak petani tidak mampu melunasi kredit mereka. Pemerintah akhirnya menghapuskan sebagian besar utang KUT yang macet untuk meringankan beban petani. Krisis ekonomi yang melanda Asia 1998 menyebabkan harga komoditas anjlok dan daya beli masyarakat melemah. Banyak petani dan pelaku UMKM terjebak dalam utang yang sulit dilunasi.

Pemerintah menghapus utang petani kecil dengan pinjaman di bawah Rp 5 juta, terutama untuk kredit yang macet karena dampak krisis. Pada pemerintahan SBY, dihapuskan utang petani yang terdampak bencana alam dan gagal panen. Langkah ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan usaha tani di tengah tantangan ekonomi global. Pada tahun 2016 dan 2023, era pemerintahan Jokowi menghapuskan utang petani, nelayan, dan UMKM tertentu yang mengalami kesulitan finansial akibat pandemi dan bencana alam.

Gagal bayar yang dialami petani maupun UMKM bisa bersumber dari faktor eksternal, di luar kemampuan mereka. Gagal panen akibat bencana alam seperti banjir, kekeringan, atau serangan hama sering kali menjadi penyebab utama. Dalam situasi ini, petani kehilangan kemampuan untuk melunasi utang mereka. Krisis ekonomi membuat mereka kesulitan membayar cicilan kredit.

Salah satu risiko penghapusan utang adalah moral hazard. Petani atau pelaku UMKM mungkin mengembangkan persepsi bahwa mereka tidak perlu melunasi utang karena ada kemungkinan penghapusan di masa depan. Hal ini dapat menurunkan disiplin pembayaran dan memengaruhi keberlanjutan program pembiayaan pemerintah. Sebagai contoh: menggunakan kredit untuk kebutuhan konsumtif; mengabaikan kewajiban pembayaran karena mengandalkan kebijakan penghapusan; atau menurunkan kepercayaan lembaga keuangan untuk memberikan kredit kepada sektor pertanian. Istilahnya “dipinjam dulu”, tapi terus lupa atau gagal bayar (kredit tunai bersifat “fungible”). Mungkin juga dalam beberapa kasus, program kredit disalurkan dengan pengawasan yang lemah, sehingga tidak mencapai target yang tepat.

Agar kebijakan penghapusan utang tidak menciptakan moral hazard, pemerintah perlu mengambil langkah strategis, antara lain: Pendampingan dan Penyuluhan Pertanian: Petani membutuhkan pendampingan intensif untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola keuangan dan memanfaatkan kredit secara produktif. Penyuluh pertanian dapat berperan sebagai mitra strategis untuk memastikan dana kredit digunakan sesuai tujuan.

Pengawasan Ketat: Lembaga keuangan perlu memperketat pengawasan dalam penyaluran dan penggunaan kredit. Verifikasi ketat dapat memastikan bahwa hanya petani atau UMKM yang memenuhi syarat yang mendapatkan akses pembiayaan. Kriteria yang Jelas dan Transparan: Penghapusan utang harus diberikan berdasarkan kriteria yang jelas, seperti dampak bencana alam atau gagal panen yang telah diverifikasi. Mekanisme ini memastikan bahwa kebijakan ini tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak berhak.

Insentif bagi Debitur yang Taat: Pemerintah dapat memberikan insentif, seperti penurunan bunga atau akses ke pinjaman tambahan, kepada petani atau UMKM yang memiliki catatan pembayaran baik. Hal ini dapat mendorong budaya tanggung jawab dalam pengelolaan utang. Inovasi Pembiayaan: asuransi pertanian, mengembangkan skema pembiayaan berbasis asuransi atau dana kolektif dapat mengurangi risiko gagal bayar akibat faktor eksternal, seperti bencana alam atau fluktuasi harga pasar.

Penghapusan utang petani dan UMKM merupakan langkah penting untuk meringankan beban ekonomi mereka, terutama dalam situasi krisis atau bencana. Namun, kebijakan ini harus diterapkan dengan hati-hati untuk mencegah moral hazard. Pendampingan, pengawasan, dan mekanisme penghapusan yang transparan adalah solusi utama untuk memastikan kebijakan ini memberikan manfaat jangka panjang tanpa merusak disiplin pembayaran kredit. Dengan pendekatan yang tepat, kebijakan ini dapat mendukung keberlanjutan sektor pertanian dan UMKM, yang menjadi pilar penting perekonomian Indonesia. Semoga.(Catur Sugiyanto, Profesor Ekonomi Pertanian dan Ketua Program S3 Ilmu Ekonomi FEB UGM)

 

 

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB