KRjogja.com - SINERGI fiskal-moneter terbukti telah berhasil membuat Indonesia keluar dari krisis Pandemi Covid-19 lebih cepat recovery-nya dibandingkan negara-negara lain. Sinergi ini dibuktikan dengan mekanisme Burden Sharing dalam melaksanakan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Hal ini dilakukan tidak saja dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, namun juga melalui partisipasi BI dalam pendanaan APBN.
BI mendukung penuh upaya pemerintah dan berpartisipasi dalam pendanaan APBN untuk akselerasi vaksinasi maupun penanganan kesehatan dan kemanusiaan akibat pandemi Covid-19. Dampak sinergi fiskal-moneter tersebut nampak dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan tajam sebesar -2,07% akibat pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial pada tahun 2020, namun kemudian mengalami peningkatan sebesar 3,70% (2021), dan 5,31% (2022).
Sinergi fiskal-moneter yang sudah terbukti bermakna dalam mendorong ekonomi Indonesia kembali tumbuh normal pasca Pandemi-Covid 19 perlu semakin diperkuat dan diperlebar ke depan, apalagi dalam menghadapi situasi dan kondisi global yang tidak menentu. Sinergi tersebut dapat dilakukan dalam pengendalian inflasi, defisit fiskal, stabilisasi Rupiah, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah, operasi moneter Bank Indonesia, dan efektivitas peraturan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Sinergi fiskal-moneter menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi, terutama dalam menghadapi tantangan inflasi, defisit fiskal, dan stabilisasi nilai tukar Rupiah (PTBI, 2024).
Baca Juga: KEHATI Award 2024, Apresiasi Para Penyelamat Keanekaragaman Hayati dan Lingkungan Hidup
Dalam pengendalian inflasi, diperlukan kolaborasi yang erat antara pemerintah dan BI agar target inflasi terkendali sehingga tidak menganggu perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Instrumen yang digunakan pemerintah untuk pengendalian inflasi berupa instrumen fiskal seperti subsidi dan pengendalian harga komoditas strategis (Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan), sementara BI berfokus pada kebijakan suku bunga dan pengelolaan likuiditas melalui instrumen operasi moneter.
Sesuai kaidah dalam pengelolaan fiskal berdasar UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara -Pasal 12 (3) dan Pasal 17 (3), jumlah kumulatif defisit fiskal APBN dan APBD dibatasi paling tinggi 3% (tiga persen) dari PDB atau PDRB, sedangkan jumlah kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibatasi paling tinggi 60% (enam puluh persen) dari PDB atau PDRB. Dalam menjaga defisit fiskal ini, penerbitan SBN pemerintah harus dilakukan secara terencana, dengan memperhatikan kebutuhan pembiayaan pemerintah dan kondisi pasar keuangan. Penerbitan SBN pemerintah harus diselaraskan dengan operasi moneter BI untuk menjaga likuiditas pasar.
Pengelolaan nilai tukar memerlukan koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal. Intervensi BI di pasar valuta asing dan kebijakan fiskal yang mendukung daya tarik investasi asing, seperti insentif pajak atau pengelolaan utang luar negeri, akan berperan penting. Optimalisasi peraturan terkait DHE SDA dan Devisa Pembiayaan Impor (DPI) dapat membantu meningkatkan cadangan devisa dan memperkuat stabilitas nilai tukar. DHE SDA adalah devisa hasil kegiatan ekspor barang yang berasal dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumberdaya alam. DPI adalah devisa yang digunakan untuk membayar impor. DHE SDA dapat menjadi sumber penawaran devisa, sedang DPI dapat menjadi sumber permintaan devisa.
Baca Juga: Kemenag Genjot Internasionalisasi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
Penerapan yang konsisten, termasuk pengawasan dan insentif bagi eksportir dan importir menjadi elemen kunci. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan DHE SDA dan DPI guna mendukung optimalisasi perolehan informasi penawaran dan permintaan devisa pembayaran internasional seperti yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor yang berlaku sejak 1 Agustus 2023.
Sinergi fiskal-moneter ini harus terus ditingkatkan melalui forum koordinasi, kerjasama, dan pertukaran informasi antarotoritas Kementerian Keuangan, BI, OJK, dan LPS yang disebut Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). KSSK melakukan pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan termasuk penanganan permasalahan perbankan dalam kondisi sistem keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan yang melibatkan instrumen fiskal dan moneter. Implementasi konsistensi, inovasi, dan sinergi (KIS) oleh BI bersama dengan pemerintah, OJK, dan LPS terbukti efektif dalam menjaga resiliensi perekonomian dan stabilitas keuangan Indonesia. (Dr. Rudy Badrudin, M.Si.
Dosen Tetap STIE YKPN Yogyakarta, Pengurus ISEI, dan Peneliti Senior PT. Sinergi Visi Utama)