opini

UMP dan UMSP 2025

Senin, 9 Desember 2024 | 21:30 WIB
Timothy Apriyanto.

KRjogja.com - PENETAPAN Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 melalui Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 menuai kritik karena dinilai tidak mencerminkan semangat demokrasi dan prinsip tripartit. Selain itu, Dewan Pengupahan Provinsi juga memberikan usulan kepada gubernur sebagai dasar penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), yang penentuannya didasarkan pada karakteristik usaha dan tingkat risiko. Pendekatan ini, meskipun bertujuan baik, justru dapat memperumit tata kelola pengupahan dan berpotensi melemahkan daya saing dunia usaha serta industri di tingkat internasional.

Keluarnya Permenaker tersebut untuk menindaklanjuti 21 amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang merinci berbagai perbaikan ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk memastikan perlindungan hak pekerja/buruh serta mengatur lebih ketat terkait ketenagakerjaan di Indonesia.

Jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) 2024 terus meningkat, tercatat dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sebanyak 59.764 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga Oktober 2024. Angka ini meningkat 12,78% dari September 2024 sebesar 52.993 pekerja terkena PHK, dan melonjak 31,13% dari Oktober 2023 sebesar 45.576 pekerja.

Kasus PHK di DIY sampai Oktober 2024 terdata sebanyak 1.779 orang dari 76 perusahaan. PHK terbanyak di Kabupaten Sleman dan disusul Kabupaten Kulon Progo.

Penetapan UMP seharusnya mencerminkan prinsip tripartit, yaitu keterlibatan pemerintah, pengusaha, dan pekerja dalam proses dialog yang demokratis. Namun, pendekatan dalam Permenaker 16/2024 cenderung instruktif dengan formula kenaikan yang mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi saja, tanpa mempertimbangkan masukan yang lebih luas dari para pemangku kepentingan.

Spirit demokrasi dan prinsip keterbukaan menuntut proses yang transparan dan akuntabel dalam pengambilan keputusan publik, termasuk penetapan UMP dan UMSP. Tanpa dialog sosial yang memadai, kebijakan upah ini dapat menjadi sumber ketidakpuasan dari berbagai pihak dan menciptakan ketidakstabilan sosial-ekonomi.

Proses penetapan UMP dan UMSP yang kompleks dapat menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha. Pengusaha membutuhkan prediktabilitas dalam biaya operasional untuk menjaga keberlanjutan bisnis, terutama di tengah persaingan global yang semakin ketat. Ketika kebijakan upah minimum ditetapkan tanpa memperhatikan dinamika lokal dan kebutuhan usaha, banyak pengusaha yang memilih untuk menunda investasi, mengurangi kapasitas produksi, atau bahkan relokasi ke negara-negara dengan sistem upah yang lebih stabil dan kompetitif.

Sistem upah minimum Vietnam dibagi berdasarkan zona regional dengan mempertimbangkan biaya hidup lokal dan kemampuan pengusaha. Dialog tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja menjadi mekanisme utama dalam penetapan upah minimum.

Singapura tidak memiliki upah minimum nasional tetapi mengandalkan skema "Progressive Wage Model" untuk sektor tertentu. Model ini menghubungkan kenaikan upah dengan peningkatan keterampilan pekerja, menciptakan insentif bagi pengusaha dan pekerja untuk berkolaborasi.

Malaysia memiliki sistem upah minimum nasional dan regional yang ditentukan oleh Dewan Pengupahan Nasional. Sistem ini berbasis data dan mempertimbangkan kondisi pasar tenaga kerja serta kebutuhan hidup layak.

India menggunakan pendekatan multilevel, di mana pemerintah pusat menetapkan "minimum floor wage" sebagai panduan nasional, sementara negara bagian memiliki kewenangan untuk menetapkan standar yang lebih tinggi. Kebijakan ini memungkinkan fleksibilitas regional namun sering kali kurang efektif karena pelaksanaan yang tidak merata.

Indonesia perlu menyederhanakan proses penetapan upah minimum dan memastikan fleksibilitas berbasis regional. Sistem seperti di Vietnam, yang menggunakan zona upah dengan formula yang sederhana, terbukti lebih efektif dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha.

Negara-negara tetangga Indonesia telah sukses mengintegrasikan dialog sosial, fleksibilitas regional, dan pendekatan berbasis data dalam kebijakan upah minimum mereka. Reformasi sistem pengupahan yang lebih sederhana, inklusif, dan transparan sangat dibutuhkan untuk menciptakan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan usaha.(Timothy Apriyanto, anggota Dewan Pengupahan DIY, Pengurus Kadin DIY, Wakil Ketua Apindo DIY Bidang Ketenagakerjaan, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY Bidang Organisasi dan Sekretaris Dewan Pendidikan DIY)

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB