opini

Ekowisata Perkotaan Yogyakarta

Kamis, 12 Desember 2024 | 10:50 WIB
Amiluhur Soeroso.

 

KRjogja.com - WISATA EKOLOGI, wisata hijau atau ekowisata baik aktivitas di daratan maupun kelautan, kini menjadi salah satu pasar pariwisata yang bergeliat. Segmen pasar ini menyodorkan pilihan untuk meraup pengalaman bermakna, peluang pendidikan, dan pelestarian lingkungan sembari menikmati keragaman saujana (gabungan alam dan budaya). CAGR (Compound Annual Growth Rate - metrik pertumbuhan rerata tahunan investasi pada periode tertentu) 2024-2033 pasar ekowisata global diprediksi 12,1%-14.31%.

Saat ini ukuran pasarnya USD 275,5 Miliar dan terus meningkat hingga USD 770,3-945,34 Miliar di tahun 2033-2034. Sementar itu, ekowisata Indonesia CAGR-nya 27,3% hingga 2034, sedangkan kapitalisasi industri 2024 USD 17,4 miliar, diharapkan sampai USD 195 miliar pada 2034. Angka signifikan untuk membantu perekonomian negara.

Ekowisata menitikberatkan pengalaman melestarikan lingkungan, integrasi unsur abiotik (benda mati - bangunan, danau dll), biotik (organisme hidup – hewan dan vegetasi) dan kultural (karya cipta manusia – pusaka budaya, keterlibatan masyarakat dan bisnis lokal). Ekowisata konvensional mendorong orang mengonsumsi alam perdesaan sepi terpencil, masih asli dengan mengadakan infrasturktur baru, sedangkan ekowisata perkotaan yang relatif baru muncul tahun 1996, dapat berada di tengah kota yang hiruk-pikuk.

Ekowisata perkotaan membantu mengurangi polusi udara, sekaligus polusi suara dan visual. Kegiatan tersebut secara progresif menciptakan oasis hijau di pusat kota, merevitalitasi bisnis lokal dengan memanfaatkan infrastruktur yang tersedia agar dapat dikunjungi. Pengunjung ditawari eksplorasi perjalanan di seputaran kawasan kota sambil menikmati dan mengapresiasi alam dan sumberdaya budaya dengan mempromosikan kesehatan ekologi jangka panjangnya.

Peluang pasar ekowisata perkotaan terbuka lebar dengan adanya kemajuan teknologi yang dapat meningkatkan kedalaman dan realitas pengalaman wisatawan, mempermudah proses dan akses menuju destinasi (melalui aplikasi smartphone), memangkas ongkos berwisata dan yang paling penting meningkatkan permintaan bisnis hijau.

Kegiatan ekowisata perkotaan Yogyakarta sebenarnya dapat dirancang dengan memanfaatkan kemelimpahan pusaka budaya (cultural heritage) – bangunan cagar budaya, batik, keris, kebaya, pangan digabungkan dengan alam dan bisnis lokal. Salah satunya adalah locavore, budidaya pertanian kota dengan mengembangkan foodshed atau food-estate seperti menumbuhkan pohon buah di pinggiran jalan, taman sayuran di halaman rumah di perkampungan (berada di Bausasran, Klitren, Baciro, dll), bercocok-tanam memanfaatkan dinding atau pagar bangunan (hotel east park, Demangan, Karangwaru dll), perikanan (Kampung Gedongkiwo Mantrijeron, Mrican Giwangan Umbulharjo), bahkan dapat juga menginisiasi pertanian hortikultura (pertanian vertikal, hidroponik, akuaponik) dan peternakan (kambing, ayam, lebah madu) di atap bangunan seperti di Tegalmanding, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman.

Sayangnya sumberdaya pangan itu masih sebatas untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis dan biogenik saja belum diimplementasikan untuk ekowisata. Fokus wisata Yogyakarta masih masal terjebak pada keramaian, menyemut di sekitar Malioboro. Akibatnya nilai tambah dari kegiatan tersebut sirna; seharusnya living culture menjadi primadona dengan harga pangan wisata menjadi lebih murah karena tidak perlu ongkos transportasi dari desa, menambah kegiatan bisnis lokal dan tentunya foodscape (bentang pangan) susur kampung di sepanjang kota akan hidup dari bermacam gerai makanan yang berafiliasi dengan sumberdaya lokal. Harapan ke depan, kegiatan ekowisata perkotaan dapat membantu meningkatkan kembali PDRB Yogyakarta atas harga berlaku pada lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makanan (yoy) yang sempat merosot hingga 13,66% di tahun 2023. (Dr. Amiluhur Soeroso, M.M., M.Sc, CHE, Dosen STIPRAM, anggota ISEI, IAAI, Javanologi, INRUKA, dan KEPeL)

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB