opini

Sunset Industry

Rabu, 1 Januari 2025 | 14:10 WIB
Timothy Apriyanto.

KRjogja.com - PADA suatu pagi, saya berkeliling mencari lapak penjual koran di kota Yogyakarta, dan tidak menemukannya lagi satupun di tempat-tempat yang dulu sepuluh tahun lalu selalu menyajikan berbagai produk media cetak termasuk surat kabar. Mendapatkan koran cetak saat ini selain dari berlangganan juga bisa dari pedagang asongan yang itu pun jumlahnya sangat sedikit di beberapa perempatan. Peristiwa pagi itu lantas memberi inspirasi setelah saya konfirmasi dengan kawan saya di surat kabar Kedaulatan Rakyat, koran terbesar dan tertua di DIY

Fenomena 'Sunset Industry' menggambarkan industri yang mengalami penurunan akibat perubahan teknologi, pasar, ketenagakerjaan, maupun pola konsumsi masyarakat. Efek fenomena 'Sunset Industry' ini lebih cepat terjadi karena terdorong disrupsi teknologi digital dan kecerdasan buatan yang merubah lanskap industri di seluruh dunia.

Indonesia pernah mendapatkan efek positif berupa kesempatan dari fenomena Sunset Industry khususnya karena dampak deindustrialisasi Tekstil / Produk Tekstil di Korea dan Tiongkok akibat naiknya biaya pekerja saat itu di tahun 1984. Namun saat ini, gejala deindustrialisasi dan tekanan terhadap industri tradisional, seperti industri percetakan termasuk industri surat kabar, semakin buruk.

Baca Juga: Ujian Nasional Digelar Bukan Sebagai Penentu Kelulusan, Begini Penjelasannya

Menurunnya industri surat kabar secara masif adalah salah satu contoh nyata dampak 'disruptive innovation'. Data dari Serikat Perusahaan Pers (SPS) mencatat bahwa jumlah media cetak menurun dari 593 pada 2021 menjadi 399 pada 2022, sementara tiras media cetak turun dari 7,5 juta eksemplar pada 2021 menjadi 5 juta eksemplar pada 2022.

Platform digital yang lebih murah, mudah diakses, dinamis, dan adaptif, telah menggantikan surat kabar cetak. Clayton M. Christensen melalui konsep Disruptive Innovation dalam artikelnya "What Is Disruptive Innovation?" (2015) menyebut fenomena ini sebagai bagian dari karakteristik disruptive innovation, di mana teknologi baru menawarkan solusi yang lebih sederhana dan terjangkau, mendisrupsi model bisnis tradisional.

Peter Drucker, melalui "The Age of Discontinuity" (1969), menyampaikan bahwa "Old industries decline not because they are inefficient, but because they are obsolete in the context of new knowledge and innovation." Drucker menunjukkan bahwa inovasi menjadi katalis perubahan, menggantikan industri tradisional yang tidak lagi relevan.

Senada dengan Peter Drucker, Daniel Bell dalam bukunya "The Coming of Post-Industrial Society" (1973) menggambarkan pergeseran ekonomi akan terjadi dari industri produk masal menuju industri jasa dan informasi. Ia menegaskan: "Industrial society is superseded by a post-industrial society, where knowledge and services dominate over goods production." Teori ini relevan dalam menjelaskan bagaimana sektor manufaktur dan industri tradisional mulai tergantikan oleh sektor teknologi dan jasa.

Baca Juga: Namanya Masuk Daftar Tokoh Dunia yang Paling Korupsi, Begini Reaksi Jokowi

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB menurun dari 21,08% pada 2016 menjadi 18,67% pada kuartal pertama 2023. Ini menunjukkan pergeseran struktur ekonomi Indonesia ke arah sektor jasa dan teknologi, sesuai dengan teori Bell dan Christensen.

Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya "Disruption" (2017) menggarisbawahi bahwa disrupsi adalah fenomena penghancuran model bisnis lama oleh teknologi baru. "Disrupsi adalah titik balik yang memaksa industri untuk meninggalkan cara lama dan menciptakan cara baru yang lebih efisien." Hal ini menjelaskan mengapa industri seperti surat kabar menghadapi penurunan tajam di era digital.

Dampak Sosial dan Ekonomi 'Sunset Industry' sangat beragam dengan skala paparan dampak yang berbeda. Salah satu dampak tersebut adalah penurunan industri pengolahan dan surat kabar yang memicu fenomena kehilangan pekerjaan dalam skala besar. Tenaga kerja harus beradaptasi dengan kebutuhan ekonomi digital, yang sering kali memerlukan keterampilan baru.

Meski 'disruptive innovation' menawarkan efisiensi, transformasi ini juga memunculkan tantangan besar yaitu paradoks keberlanjutan dalam disrupsi digital. Perubahan cepat dapat menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi jika pemerintah dan pelaku industri tidak mampu mengikuti laju perubahan.

Baca Juga: Malam Pergantian Tahun, Kawasan Tugu Pal Putih dan Titik Nol Kilometer Dipadati Warga

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB