opini

Robo-Advisor: Mengapa Teknologi Tidak Selalu Jadi Jawaban?

Selasa, 21 Januari 2025 | 15:03 WIB
Enggar Sukma Kinanthi, S.E., MBA., PFM.


KRjogja.com - KEHADIRAN robo-advisor di dunia keuangan merupakan suatu inovasi digital yang mampu mengubah cara individu dan institusi mengelola portofolio investasi mereka. Dengan memanfaatkan algoritma cerdas dan AI, robo-advisor menawarkan solusi investasi yang lebih efisien, personal, dan terjangkau, sehingga membuka akses keuangan yang lebih inklusif bagi berbagai kalangan. Meskipun konsep robo-advisor bukan berasal dari Indonesia, sejumlah perusahaan fin-tech tanah air telah berhasil mengembangkan dan meluncurkan layanan robo-advisor mereka sendiri. Robo-advisor pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada 2021 oleh Bareksa.

Hingga 2023, sebanyak 6 perusahaan fin-tech telah meluncurkan robo-advisor pada aplikasi mereka, yaitu Bareksa, Bibit, Stockbit, Bambu, Reliance, dan Halofina. Menurut Statista (2023), jumlah pengguna robo-advisor di Indonesia diperkirakan akan mencapai 11,20 juta pada tahun 2027. Namun, sejauh mana peran AI dalam robo-advisor dan apakah dampaknya selalu positif?

Keunggulan Robo-Advisor

Robo-advisor hadir dengan harapan besar untuk membuat investasi lebih mudah diakses oleh semua orang. Tidak semua orang, khususnya investor pemula, mampu mempekerjakan seorang konsultan atau analis keuangan pribadi untuk membantu mengatur keuangan mereka karena biaya yang mahal. Robo-advisor menjadi solusi menarik bagi generasi milenial yang baru memasuki dunia investasi dan keuangan.

Pengguna hanya perlu memberi input berupa kuisioner singkat, selanjutnya robo-advisor akan menjalankan algoritmanya untuk menentukan portfolio yang sesuai dengan profil resiko pengguna. Dengan demikian, robo-advisor terlihat sebagai pilihan ideal bagi mereka yang mencari pengelolaan investasi secara praktis dan pasif. Bahkan, beberapa pendiri perusahaan teknologi ini sempat mengklaim bahwa peran penasihat keuangan manusia akan tergantikan. Namun, seiring waktu, ekspektasi tersebut tidak sepenuhnya terwujud di dunia nyata.

Resiko yang harus diperhatikan

Tidak seperti prediksi kenaikan pengguna di Indonesia, penurunan penggunaan robo-advisor justru terjadi di Amerika. Dirujuk dari artikel terbaru Smartasset.com (2024), penggunaan robo-advisor menurun dari 27.7% pada 2021 ke 20.9% di 2022. Ditambah lagi, robo-advisor milik perusahaan ternama JPMorgan, Goldman Sach, serta Bambu B2B, telah berhenti beroperasi sejak akhir 2023. Selain masalah klasik berupa keamanan data dan privasi, robo-advisor memiliki beberapa masalah mendasar. Ketergantungan pada algoritma memungkinkan portofolio tidak sesuai dengan kebutuhan spesifik pengguna serta rentan terhadap kesalahan pemrograman. Ditambah lagi, pengguna yang merupakan investor pemula mungkin belum memiliki literasi keuangan yang memadai, mereka cenderung tidak mampu mengidentifikasi kebutuhannya sendiri dengan tepat.

Perencanaan keuangan atau pengelolaan portofolio membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang tujuan, aspirasi, dan kebutuhan spesifik setiap individu. Hal itulah yang menjadi kelemahan mendasar robo-advisor, yakni ketidakmampuan mereka meniru empati dan intuisi yang dimiliki oleh penasihat manusia dalam memberi saran yang dipersonalisasi. Ketidaktepatan antara input yang diberikan oleh pengguna, ditambah dengan algoritma yang kaku, dapat mengarah kepada keputusan investasi yang tidak aman dan irasional.

Banyak analis menyimpulkan investor yang memiliki dana lebih besar serta literasi yang moderat ke atas lebih menyukai interaksi manusia. Semakin besar dana yang dimiliki, maka investor memiliki pilihan investasi yang lebih luas daripada yang disarankan oleh penasihat robotik. Pemahaman keuangan yang lebih mendalam memungkinkan investor untuk mempertimbangkan volatilitas pasar, perubahan regulasi, atau dampak teknologi ke dalam perencanaan investasi mereka. Dengan kata lain, robo-advisor tidak dapat merespon variable yang selalu berubah. Fulk et al (2018) menunjukkan bahwa pengguna robo-advisor secara umum memiliki pendapatan lebih rendah, memiliki kekayaan bersih lebih rendah, serta kurang impulsif secara finansial.

Kesimpulannya, meskipun namanya adalah ‘advisor’, namun pada dasarnya robo-advisor merupakan sebuah fitur yang memiliki banyak keterbatasan. Untuk mengatasi ini, diperlukan kebijakan pengguna, terutama investor pemula, untuk mengantisipasi kelemahan tersebut dengan literasi keuangan yang memadai. Pemahaman keuangan personal yang baik dapat ketergantungan semata-mata pada teknologi dan algoritma, sehingga memampukan investor pemula untuk mengasah intuisi dan kemampuan adaptasi dalam membuat keputusan investasi yang aman dan rasional. (Enggar Sukma Kinanthi, S.E., MBA., PFM, Dosen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

 

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB