opini

Korupsi Sistemik

Rabu, 12 Maret 2025 | 20:50 WIB
Timothy Apriyanto.

KRjogja.com - KORUPSI di Indonesia terjadi di berbagai sektor strategis: energi, keuangan, telekomunikasi, transportasi, hingga kesejahteraan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya sekadar perilaku kriminal individu atau kelompok yang menyimpang, tetapi sudah menjadi bagian dari sistem yang terus berevolusi dan mencari celah dalam regulasi.

Korupsi yang sedemikian parah di suatu negara tersebut kita kenal dengan konsep "state capture corruption" yaitu suatu bentuk korupsi sistemik di mana aktor-aktor tertentu (seperti individu, kelompok bisnis, atau elit politik) memengaruhi dan mengendalikan kebijakan, regulasi, serta pengambilan keputusan pemerintah untuk keuntungan pribadi mereka, bukan demi kepentingan publik. Berbeda dari bentuk korupsi lainnya yang sering berupa penyuapan atau nepotisme dalam birokrasi, state capture corruption terjadi ketika kepentingan pribadi benar-benar mendominasi kebijakan negara. Proses ini dapat melibatkan perubahan undang-undang, kebijakan ekonomi, hingga manipulasi sistem hukum agar berpihak pada kelompok tertentu.

Baca Juga: KAI Telusuri Penyebab Kebakaran Tiga Kereta Terparkir di Stasiun Tugu

Bank Dunia pada tahun 2000, mengkaji fenomena korupsi dalam negara-negara yang berada dalam masa transisi demokrasi di Eropa Timur dan Asia Tengah. Dalam studinya, Bank Dunia membagi korupsi menjadi tiga bentuk utama yaitu:

1) Administrative Corruption (Korupsi Administratif)
Praktik suap atau pembayaran ilegal untuk mempercepat proses administrasi.
Contoh: Pembayaran kepada pejabat agar izin usaha diproses lebih cepat.

2) Influence Markets Corruption (Pasar Pengaruh)
Bentuk korupsi yang lebih halus, di mana kelompok berkepentingan memengaruhi kebijakan melalui mekanisme legal seperti lobi politik dan pendanaan kampanye.
Contoh: Perusahaan besar membiayai partai politik untuk mendapatkan perlakuan istimewa dalam kebijakan pajak atau investasi.

3) State Capture Corruption (Negara yang dikendalikan Korupsi)
Korupsi yang terjadi sistemik melalui intervensi oleh elit bisnis atau kelompok tertentu untuk mengendalikan kebijakan negara demi kepentingan pribadi.
Contoh: Perubahan regulasi yang hanya menguntungkan perusahaan atau individu tertentu.

Dari ketiga kategori tersebut, state capture corruption dianggap sebagai bentuk korupsi yang paling merusak karena dapat mengubah kebijakan negara secara struktural dan melemahkan institusi demokrasi.

Baca Juga: Kerugian Negara Akibat Produk Ilegal Mencapai Rp 291 triliun

Salah satu penyebab korupsi sistemik adalah adanya ketimpangan ekonomi dan politik dimana kelompok kaya memiliki kekuatan untuk memengaruhi kebijakan demi kepentingan mereka. Sistem peradilan yang tidak independen juga dapat mempermudah kelompok kepentingan berpengaruh untuk merekayasa dan menghindari hukuman korupsi. Penyebab korupsi sistemik lainnya adalah minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam pencegahan tindak pidana korupsi, termasuk proses legislasi yang tertutup dan memungkinkan praktik korupsi berkembang. Partai politik juga sering bergantung pada pendanaan dari kelompok bisnis, sehingga kebijakan mereka mudah dipengaruhi. Salah satu hal tersulit untuk diubah adalah budaya politik yang terbiasa dengan praktik korupsi.

Dampak State Capture Corruption diantaranya adalah akan melemahnya demokrasi di suatu negara. Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan elite dibanding kepentingan rakyat. Dampak lainnya adalah meningkatnya ketimpangan sosial dimana kekayaan hanya terkonsentrasi pada segelintir orang, sementara rakyat tetap miskin. Jika korupsi sistemik terjadi menahun maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara. Hal demikian tentu berdampak pada kestabilan ekonomi yang terganggu. Kebijakan ekonomi sering "flip flop" dan dibuat untuk kepentingan jangka pendek, bukan pembangunan berkelanjutan. Dampak sistemik berikutnya adalah pelemahan sistem hukum. Hukum digunakan untuk melindungi kelompok tertentu dan menghancurkan lawan politik sehingga tidak ada supremasi hukum.

Baca Juga: Menag Nasaruddin Umar Silaturahmi ke PBNU, Bahas Kurikulum Cinta hingga Ekoteologi

Mengatasi State Capture Corruption bisa dilakukan dengan meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas. Kita harus memastikan proses kebijakan terbuka dan diawasi oleh publik. Hal penting lainnya untuk mengatasi korupsi sistemik adalah supremasi hukum diantaranya dengan memperkuat penegakan hukum yang memberikan efek jera. Lembaga peradilan harus independen dari pengaruh politik dan bisnis.

State capture corruption adalah bentuk korupsi yang paling berbahaya karena dapat mengendalikan negara dari dalam. Bank Dunia mengidentifikasinya sebagai fenomena yang merusak demokrasi dan ekonomi. Untuk mengatasinya, perlu reformasi sistemik dalam hukum, transparansi, dan akuntabilitas pemerintahan. (Timothy Apriyanto, Pengurus Kadin DIY, Wakil Ketua Apindo DIY Bidang Ketenagakerjaan, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY Bidang Organisasi, Sekretaris Komite Advokasi Daerah (KAD) DIY, Sekretaris Dewan Pendidikan DIY, dan Perwakilan Unsur Pengusaha di Dewan Pengupahan DIY)

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB