KRjogja.com - AKHIR-akhir ini, dunia dihebohkan dengan kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam hal perdagangan internasional. Amerika Serikat sebagai negara yang mempromosikan perdagangan bebas tiba-tiba menerapkan tarif impor kepada negara-negara mitra dagangnya, dimana Amerika mengalami defisit neraca perdagangan. Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena sasaran kebijakan tersebut. Produk Indonesia akan dikenai tarif sebesar 32%, sementara China bahkan dikenai tarif lebih dari 100%.
Kebijakan tersebut menimbulkan aksi balas berbalas, dengan dalih untuk melindungi perekonomian dalam negeri masing-masing, atau dikenal dengan perang dagang. Perang dagang ini sudah barang tentu akan menaikan harga dan sangat potensial menimbulkan resesi dan krisis ekonomi global. Pembicaraan atas dampak yang akan muncul, serta kebijakan-kebijakan untuk melindungi perekonomian dari krisi sudah banyak dilakukan, dan menjadi tema diskusi hangat diberbagai media.
Salah satu hal yang patut menjadi perhatian adalah apakah perang dagang tersebut juga berdampak pada masyarakat kecil, termasuk para konsumen tahu tempe? Apakah juga akan berdampak pada kelompok usaha mikro kecil, usaha rumahan yang nota bene jauh dari aktivitas ekspor impor dan hiruk pikuk perdagangan internasional?
Tahu tempe merupakan konsumsi dari kelompok masyarakat kelas bawah. Meskipun kelompok menengah atas kemungkinan juga mengkonsumsinya, namun produk tahu tempe merupakan simbul konsumsi masyarakat bawah. Produsen tahu tempe kebanyakan merupakan usaha rumahan yang berskala mikro kecil, makasimal berskala menengah.
Meskipun tahu tempe adalah usaha dengan skala UMKM, ternyata mereka menggunakan bahan baku impor. Bahan baku utama tahu tempe, yaitu kedelai, hampir 90% diimpor dari negara lain. Sebagai gambaran data BPS selama 7 tahun terakhir menunjukkan bahwa kebutuhan kedelai Indonesia rata-rata pada kisaran mendekati 2,8 juta ton per tahun. Sementara produksi dalam negeri, rata-rata hanya pada kisaran 300-an ribu ton per tahun. Selebihnya dipenuhi dengan impor. Rata-rata impor kedelai per tahun sebesar 2, 499 juta ton atau kisaran 2,5 juta ton per tahun. Menariknya lebih dari 85% impor kedelai Indonesia berasal dari Amerika Serikat. Data ini terkonfirmasi dengan data ekspor impor Indonesia-Amerika, komoditas utama yang diimpor Indonesia dari Amerika, urutan pertama adalah kedelai dan kacang-kacangan.
Dari data di atas, dapat dibayangkan andaikan harga kedelai meningkat akibat perang dagang tersebut, maka sudah pasti UMKM tahu tempe serta usaha hilirnya akan terdampak kuat. Industri hilir tempe, misalnya tempe kripik, mendoan, dll pasti akan terdampak. Demikian juga dengan industri tahu. Tidak hanya tempe, industri tahu serta usaha hilirnya juga merupakan andalan untuk ekonomi kelas bawah termasuk usaha rumahan, mikro, dan kecil.
Dari berbagai informasi di media, strategi Indonesia dalam menghadapi kebijakan Trump memang tidak akan menerapkan tariff balasan. Berarti Indonesia tidak akan mengenakan tarif impor terhadap kedelai yang bisa menaikkan harga pasar. Meskipun Indonesia tidak akan mengenakan tarif, perang dagang mengakibatkan kurs Rupiah terhadap US $ terus melemah. Saat ini bahkan sudah tembut IDR 17.000/ US$. Hal ini sudah barang tentu akan menaikkan harga kedelai yang akan mengganggu industri tahu tempe. Ini berarti masyarakat kecil tetap akan terkena dampak yang signifikan, karena tahu tempe adalah makanan utama (di luar makanan pokok), bagi masyarakat bawah baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Tantangan dalam menghadapi tekanan ini adalah bagaimana Indonesia bisa swasembada kedelai. Namun hal ini terlalu sulit mengingat defisit yang hampir 90% dari kebutuhan konsumsi. Meskipun demikian langkah-langkah menuju swasembada harus tetap dilaksanakan. Selain itu, inovasi dalam memenuhi kebutuhan konsumsi juga harus dilakukan. Keraifan lokal masyarakat (khususnya di Jawa) perlu dikembangkan kembali. Selama ini Jawa memiliki berbagai macam tempe dengan bahan baku non-kedelai, misalnya tempe koro, tempe benguk, dll. Bahkan pernah muncul tahu berbahan dasar benguk. Sayangnya produk ini kurang eksis dibanding tempe dan tahu berbahan dasar kedelai. Kalau inovasi semacam ini dikembangkan dengan sentuhan teknologi pangan, diharapkan mampu mengurangi dahsyatnya dampak perang dagang terhadap konsumen tahu tempe, khususnya masyarakat kelas bawah. Secara konsep swasembada dalam memenuhi kebutuhan konsumsi adalah solusi paling baik dalam menghadapi guncangan internasional.
Hal lain yang cukup penting untuk diamati adalah bagaimana dampak perang dagang terhadap UMKM secara umum. Seperti telah disinggung pada bagian awal, salah satu negara yang menjadi target kebijakan Trump adalah China. Dengan tarif lebih dari 100%, sudah pasti China akan mencari pasar alternatif bagi produknya pada negara-negara mitra dagang lainnya, termasuk Indonesia. Apa lagi Indonesia sudah resmi masuk dalam keanggotaan BRICS. Sebagai sesama anggota BRICS bukan tidak mungkin produk China akan membanjiri Indonesia. Selama ini produk China cukup kompetitif di pasar Indonesia, karena harganya yang murah. Potensi desakan produk China akibat perang dagang ini bukan mustahil akan menggusur produk-produk UMKM di pasar domestik Indonesia. ( Dr Murti Lestari MSi., Dosen UKDW dan Pengurus ISEI DIY)