KRjogja.com - AKHIR-AKHIR ini, Indonesia mengalami fenomena peningkatan minat yang signifikan terhadap emas sebagai instrumen lindung nilai. Harga emas domestik, khususnya produk Logam Mulia Antam, mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Pada 22 April 2025, harga emas Antam mencapai Rp 2.016.000 per gram, naik Rp 36.000 dari harga sebelumnya. Jika dibandingkan dengan harga pada akhir tahun 2024 yang sekitar Rp 1.515.000 per gram, kenaikan harga emas mencapai sekitar 33,2% dalam empat bulan terakhir. Kenaikan ini mencerminkan kondisi ketidakpastian ekonomi global dan meningkatnya permintaan terhadap emas sebagai aset aman di era ini.
Lonjakan harga emas yang belum mereda dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China, yang menyebabkan volatilitas pasar dan ketidakpastian ekonomi. Kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump, terhadap China memicu respons serupa dari Beijing, yang meningkatkan ketegangan perdagangan global. Sebagai respons terhadap ketidakpastian ini, banyak investor beralih dari aset berisiko tinggi (seperti saham) ke aset aman (seperti emas) sebagai lindung nilai. Hal ini mendorong harga emas mencapai rekor tertingginya. Menurut laporan Reuters, bank sentral di seluruh dunia juga meningkatkan cadangan emas mereka, dengan Tiongkok menambah cadangannya menjadi 2.292,38 ton pada akhir Maret 2025 (Reuters.com).
Fenomena masyarakat yang berbondong-bondong membeli emas terjadi di banyak kota, seperti Jakarta, Bekasi, dan Yogyakarta, di mana antrean panjang bahkan menyebabkan stok emas menipis dan pembelian harus dilakukan secara indent. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh herding behavior dan FOMO, di mana orang merasa harus segera membeli emas untuk mendapatkan keuntungan serupa. Bias kognitif ini muncul karena banyak orang mengikuti tren pasar tanpa analisis yang rasional.
Banyak ahli berpendapat bahwa kenaikan harga emas tidak hanya dipengaruhi oleh perhitungan rasional berdasarkan nilai intrinsik, tetapi juga faktor psikologis yang sering menyimpang dari analisis rasional. Ketika terjadi ketegangan politik, ekonomi, atau peperangan antar negara, masyarakat cenderung melihat emas sebagai aset yang aman, yang terbukti bertahan dalam jangka panjang sebagai lindung nilai terhadap inflasi dan penurunan nilai mata uang. Mereka membeli emas berdasarkan kepercayaan bahwa emas akan selalu memiliki nilai tinggi, terutama saat pasar saham dan mata uang mengalami volatilitas. Hal ini lebih dipengaruhi oleh pemikiran irasional, seperti tekanan sosial dari lingkungan sekitar, ketimbang penilaian rasional terhadap aset tersebut.
Hal ini sejalan dengan teori prospek yang dikemukakan oleh Kahneman dan Tversky, yang berfokus pada cara individu membuat keputusan dalam situasi ketidakpastian, terutama ketika dihadapkan pada potensi keuntungan dan kerugian. Teori ini relevan dalam konteks pembelian emas di Indonesia, di mana harga emas yang terus meningkat membuat masyarakat merasa takut kehilangan peluang (FOMO) atau menghadapi kerugian. Ketika masyarakat merasa bahwa harga emas akan terus naik, mereka cenderung mengambil keputusan investasi yang didorong oleh ketakutan akan kerugian, bukan berdasarkan perhitungan rasional.
Meskipun harga emas cenderung naik dalam jangka panjang, harga emas bisa berfluktuasi dalam jangka pendek. Jika membeli emas tanpa mempertimbangkan risiko pasar, investor bisa mengalami kerugian jika harga tiba-tiba turun. Emas tidak menghasilkan pendapatan pasif seperti saham atau obligasi, sehingga tidak memberi aliran uang kecuali dijual kembali. Investor harus menghindari membeli emas hanya karena harga naik (FOMO) dan lebih fokus pada kondisi pasar dan analisis nilai intrinsik emas. Penting untuk membuat keputusan investasi berdasarkan pertimbangan pribadi yang rasional, bukan mengikuti tren pasar yang tidak rasional.
Untuk itu, investor perlu belajar untuk mengabaikan tekanan sosial atau tren pasar yang tidak rasional. Membuat keputusan berdasarkan penilaian pribadi yang didasarkan pada data yang kuat jauh lebih penting daripada mengikuti apa yang dilakukan orang banyak. nvestor yang bijak seharusnya tidak hanya mengikuti tren tanpa memahami dasar dan alasan dibalik keputusan tersebut. Mereka harus tetap tenang dan rasional dalam mengambil keputusan investasi. (Elizabeth Fiesta Clara Shinta Budiyono, S.M.,M.M, Dosen Program Studi Manajemen FBE UAJY)