opini

Ketika Sastra Alpa dari Bangku Sekolah

Jumat, 2 Mei 2025 | 21:55 WIB
Aguk Irawan MN* (istimewa)

KETIKA SASTRA ALPA DARI BANGKU SEKOLAH

Oleh Aguk Irawan MN*

Pada tahun 1964, Jacques Ellul menulis buku yang sangat fenomenal, berjudul The Technology Soceity. Lalu Erich Formm, juga menulis The Revolution of Hope: Towards a Humanized Technology empat tahun setelahnya. Kedua buku ini meramalkan akan datang era melenial yang serba digital dan arus informasi begitu cepat.

Jika hal itu tak diantisipasi oleh dunia pendidikan kita, maka perubahan yang terjadi bisa dipastikan akan mengarah pada krisis moral dan dehumanisasi. Saat negera lain sudah mengantisipasi sedemikian rupa, kita sekarang baru tergagap dan sadar. Benar, kini krisis moral tengah menjalar dan menjangkiti bangsa ini.

Hampir semua elemen bangsa juga merasakannya. Masyarakat akan terserat pada cara pandang yang parsial, kulit luar dan cenderung reduksionistik. Dampak lain yang mengerikan adalah tampilnya sejumlah masyarakat yang berlebihan pada politik kekuasaan. Orang semacam ini akan bertebar dimana-mana, baik di dunia nyata maupun maya, terutama di kota-kota besar.

Baca Juga: Pesenam Muda Usia Yogyakarta Berjaya di Singapura

Maraknya hoak dan fitnah seakan menjadi pelengkap informasi dan media. Bahkan jenjang akademik, seperti doktor dan profesor tak jauh beda dengan yang hanya lulusan SD ketika bermedsos.

Dampak lain yang menyedihkan, tiap hari kita disuguhi berita korupsi dan sejumlah kasus mafia hukum yang kelewat batas, alur dan konfliknya nyaris menyamai sebuah fiksi; perselingkuhan antara pengusaha plat merah dengan staf ahli menteri, bahkan dengan pegawai golongan rendahan, lengkap dengan adegan gratifikasi jasa seksual. Aparat penegak hukum diadili. Satgas Mafia diawasi. Tim penyelidik diselidiki, dan seterusnya, seakan tak ada habisnya. Belum lagi kasus kasus korupsi atas nama hibah, bakti sosial, jatah pendampingan anggota dewan dan lain sebagainya, yang selalu saja susul-menyusul.

Menyelami negeri Indonesia kini seolah kita sedang berkaca pada cermin yang retak. Sebuah negeri yang sungguh sangat ganjil. Bahkan keganjilan demi keganjilan sudah melampaui dunia fiksi. Belum lupa, peristiwa yang miris begitu menohok hidung dunia pendidikan kita; seorang guru dan kepala Sekolah Dasar (SD) telah membuat skenario bagaimana murid-muridnya berbuat curang di Ujian Nasional (UN) dengan mengintruksi nyontek massal, dan seorang wali murid yang melaporkan kecurangan itu kemudian dihujat massa, bahkan terpaksa tersingkir dari tempat tinggalnya, karena ia telah menyuarakan hati nuraninya. Bukankah ini cukup sebagai bukti, babak-belur sudah negeri ini. Lantas bagaimana dengan nasib generasi bangsa ini, bila apa yang dipertontonkan adalah mental-mental keculasan, kemunafikan, dan ketidakjujuran?

Baca Juga: Yayasan 12 Cahaya Kasih dan FISIP UAJY Jalin Kolaborasi, Bantu Sekolah-Sekolah Promosi Gaet Siswa dan Produksi Bahan Ajar Menarik

Inikah fenomena yang dihasilkan dari perjalanan dunia pendidikan kita yang cukup panjang? Sesungguhnya baik buruknya nasib pendidikan kita menjadi tanggung jawab seluruh elemen bangsa. Dengan demikian, perlu kiranya kita berbenah diri untuk memutus mata rantai “warisan” sosial dengan mentalitas “curang”, budaya menerabas, tidak adanya kepercayaan diri (kemandirian) dengan laku segala cara sebagai produk dari desain pendidikan kita. Karena sesungguhnya mentalitas “warisan” curang seperti itulah yang menjadi akar penyakit bangsa ini. Sehingga tak pelak kini, kita temukan erlimpahnya kasus amoral, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) massal dan kebusukan yang disuguhkan sehari-hari dihadapan kita.

Mengapa seolah-olah bangsa ini, dari tahun ke tahun, tidak pernah sadar dan sesegera mungkin menyembuhkan luka dan sakit akutnya? Justru sebaliknya, bangsa ini makin dijangkiti virus yang ‘melumpuhkan' itu. Sebagai bahan renungan, agaknya semua ini terlanjur terjadi, rela tak rela kita boleh mengkaitkan dengan rendahnya pengajaran (apresiasi) sastra di sekolah. Mengapa demikian? Karena sastra mengasah rasa, mengolah budi, dan memekakan pikiran. Bukankah itu cikal bakal moral? Dan sekolahan adalah peletak batu pertama pembentuk watak dan kepribadian seseorang.

Rasanya para pendidik negeri ini telah begitu lama mengabaikan, bahkan nyaris tak peduli dengan pendidikan sastra yang memadai kepada anak didik kita. Tidak percaya? Mari kita buktikan satu-persatu. Pertama, dimulai dari kepedulian orangtua untuk mengajarkan sastra kepada anaknya, harus diakui tradisi mendongeng orangtua kepada anaknya, yang sudah turun-temurun di miliki negeri ini, kini sudah semakin mengikis di masyarakat. Orangtua lebih mementingkan anaknya agar bisa cepat berhitung, dan mengerti basaha asing misalnya, ketimbang anak disuguhi segudang buku cerita (sastra anak). Bukti itu diperkuat dengan fenomena orang tua berlomba-lomba mencari pendidikan usia dini yang cenderung mengasah otak kirinya, daripada otak kanan, lalu mencari bahkan merasa punya gengsi tinggi seperti lembaga pendidikan yang sering ada embel-embelnya Internasional, dan semacamnya.

Kedua, kami boleh taruhan, jika diadakan penelitian ke seluruh pelosok negeri ini terkait pendidikan usia dini, tak bakal ditemukan pendidikan yang berbasis sastra secara ideal. Kalaupun itu ada, barangkali hanya akan ditemukan satu atau dua saja, sebutlah seperti lembaga pendidikan usia-dini; Rumah Dongeng, yang dirintis dan diasuh alamrhum budayawan Kakwes yang berada di Yogyakarta (Kota Gede). Tapi siapa yang peduli dengan model pendidikan macam beginian?

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB