opini

Ketika Sastra Alpa dari Bangku Sekolah

Jumat, 2 Mei 2025 | 21:55 WIB
Aguk Irawan MN* (istimewa)

Ketiga, sampai saat ini porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil dari pengajaran bahasa. Ketersediaan guru sastra yang mumpuni di sekolah-sekolah juga sangat terbatas. Begitupun dengan pemanfaatan bahan ajar sastra yang belum optimal.

Keempat, penelitian Taufik Ismail di tahun 1997-2005 menunjukkan betapa sastra tidak diperkenalkan pada siswa-siswi hingga mereka menyelesaikan SMA. Menurut Taufik Ismail, sebagian besar siswa-siswi di Indonesia berhasil menyelesaikan NOL karya! Betapa mengenaskannya nasib sastra dalam pendidikan kita, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Malaysia misalnya, mewajibkan 6 judul karya, Swiss dan Jepang 15 judul, dan Amerika Serikat 32 judul. Misalnya lagi, betapa siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina dan Thailand telah akrab dengan novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan karya sastrawan-sastrawan besar dunia lainnya, sedangkan siswa-siswa di Indonesia sendiri justru hanya sedikit yang mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer.

Contoh lain, di Jepang misalnya, pemerintah mewajibkan semua siswa-siswi untuk mempelajari sastra klasik sejak SMP. Anak didik disana setingkat SMP, sudah hapal di luar kepala Hikayat Genji, sebuah karya sastra kuno yang jika di tanah air mirip dengan Pappangajana Abdul Bada, I La Galigo, Dua Belas Gurindam, Serat Centini, Serat Wedhatama, Serat Pepali Ki Ageng Selo, dan Serat Wulung Dharma, namun, di negeri ini, siswa SMP mana yang hapal dan paham dengan karya sastra kuno itu?

Kelima, dalam mimbar kebudayaan Sastra dan Revolusi di Yogyakarta pada Juli 2010 lalu, Max Lane, penerjemah sejumlah karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris, mengatakan, “Indonesia adalah satu-satunya negera di dunia yang tidak memasukkan sastra sebagai mata pelajaran wajib di pendidikan menengah!". Bandingkan lagi, jika kita merunut pada masa silam, di zaman AMS Hindia Belanda, siswa diwajibkan membaca buku sastra 25 judul bagi AMS Hindia Belanda-A dan 15 judul bagi AMS Hindia Belanda-B. Dan sekarang? Jelas tidak lagi penurunan, tapi hampir saja peniadaan! Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka juga bertindak yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama seperti yang terjadi dewasa ini. Barangkali inilah salah satu penyebab mengapa di negeri ini berjubalnya prilaku a-moral di segala lini kehidupan.

Kelima fakta di atas sudah cukup menunjukkan bahwa negeri ini memang sungguh sangat ganjil, karena itu, kini kitapun menuai hasil dari keganjilannya.. Kenapa demikian? Sekali lagi, karena sastra mengajarkan kehidupan dari sisi yang berbeda, ketika orang mulai bosan dengan doktrin-doktrin hitam-putih, maka sastra dapat menjadi solusi untuk tetap menanamkan budi pekerti yang luhur pada generasi bangsa. Oleh karenanya, seorang tokoh legendaris Umar ibn Khattab, pernah berwasiat kepada rakyartnya: "Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani."

Perkataan Umar itu tak berlebihan, sebab di dalam sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran universal. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk bercermin secara telanjang, dan tentu saja setelah itu berbuat sesuatu. Apalagi jika pembacanya adalah anak didik yang fantasinya baru berkembang dan menerima segala macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak.

Bahkan, menurut Thaha Husain (Tokoh Pendidikan Mesir) dalam muqadimah kitabnya Fi Syiir al-Jahili, menyebutkan bahwa semua kitab suci adalah karya sastra, sebab selain unsur estetik-bahasanya, lebih dari sepertiga isi kitab suci adalah penuturan kisah yang mempunyai plot dan alur mengejutkan. Karenanya bagi Thaha Husain mengajarkan sastra kepada anak juga secara otomatis mengajarkan nilai-nilai kitab suci (moralitas).

Selain itu, karya sastra merupakan sebuah dialog yang menolak adanya keasingan, ketidakjujuran dan penindasan. Yusuf Qardawi dalam bukunya Islam wa al-Funun pun berpendapat, bahwa hanya sastra (seni)-lah yang bisa memenuhi hajat ruhani, pemuas logika, pembangun jiwa, pemberi kenikmatan rasa, dan pengasah spiritual. Karenaya ia beragumentasi, bawa sastra adalah penyambung lidah kitab suci, yang akan membantu menjabarkan isi dari kalam Tuhan yang perlu diperhatikan manusia. Sekarang, jika kita meyakini bahwa dengan karya sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral, apa salahnya jika kita mengevaluasi sekali lagi sistem pendidikan kita? Atau kita biarkan generasi muda tak mengenal sastra dan kita biarkan kelak meraka menjadi koruptor lagi? (Wallahu’alam bisshawab)

(Disampaikan dalam Seminar Nasional Hari Pendidikan Nasional, bertempat di Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga)

 

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB