KRjogja.com - SEJAK program MBG diluncurkan di awal 2025, hingga sekarang setidaknya sudah ada tujuh kasus keracunan makanan yang diberitakan di media masa. Peristiwanya terjadi antara lain di Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Utara dan Sumatera Selatan dan menimbulkan korban keracunan tidak kurang 682 yang terdiri dari siswa, guru, dan juga kepala sekolah. Kasus keracunan makanan MBG pertama kali diberitakan menimpa puluhan siswa SD dan SMA di Nunukan Selatan, Kalimantan Utara, persis 1 minggu setelah program ini dimulai. Ini baru kasus keracunakan makanan MBG yang sempat diberitakan di media masa, sedangkan jumlah kasus keracunan yang sesungguhnya terjadi dimungkinkan jauh lebih banyak. Banyaknya kasus keracunan makanan ini dapat menjadi indikator ketidakberhasilan MBG maka dimungkinkan tidak dilaporkan oleh para penyelenggaranya di daerah.
Semula kritik pertama terhadap MBG yaitu tidak disertai dengan kegiatan pengukuran dan pencatatan status gizi para siswa secara periodik. Kritik kedua yaitu berkaitan dengan makin banyaknya kasus keracunan makanan MBG ternyata juga tidak disertai dengan tindakan pencatatan dan pelaporan yang benar dan jujur. Akibatnya kondisi dan faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya keracunan makanan di berbagai sekolah dan daerah tidak pernah dapat diketahui sehingga tidak menjadi dasar melakukan tindakan koreksi baik di tingkat operasional di daerah maupun perbaikan kebijakan di pusat. Rupanya selama ini besarnya nilai kerugian akibat keracunan makanan yang menimpa para siswa, guru, dan kepala sekolah ini tidak dianggap penting.
Untuk itu perlu kiranya disampaikan bagaimana caranya mengukur tingkat dan ragam kerugian yang diakibatkan oleh setiap kasus keracunan makanan MBG. Yang pertama kerugian kesehatan yang mencakup biaya pengobatan, rawat inap, dan rehabilitasi. Tergantung pada tingkat keparahannya korban keracunan makanan juga dapat mengalami kerusakan organ atau gangguan kesehatan permanen atau bahkan meninggal. Siswa yang mengalami diare berat akibat keracunan makanan maka untuk mengembalikan status gizinya menuju kondisi semula perlu beberapa minggu ke depan dengan pemberian makanan bergizi beneran dan aman.
Kedua yaitu kerugian pendidikan yang diukur dengan jumlah hari sekolah yang hilang. Perlu diukur apa saja dampak kehilangan waktu belajar dan gangguan pada proses pendidikan. Selain itu juga perlu dievaluasi seberapa besar diperkirakan efek psikologis pada para siswa dan guru yang menjadi korban dan yang “belum” menjadi korban. Yang ketiga yaitu kerugian ekonomi ini mencakup biaya terkait dalam penanganan krisis yang meliputi investigasi, penarikan kembali makanan, dan kompensasi bagi para korban. Selain itu dapat berupa gangguan produktivitas. Misalnya orang tua/wali harus menemani anak yang sakit, yang berarti hari itu tidak bisa bekerja produktif yang berdampak pada mengurangi pendapatan keluarga.
Yang keempat yaitu kerugian reputasi dan kepercayaan publik. Ketika terjadi keracunan makanan di sekolah maka dampak negatif yang terbesar dialami yaitu merosotnya reputasi sekolah dan juga kepercayaan masyarakat. Selain itu reputasi dan kepercayaan terhadap
pihak penyedia makanan pun juga sangat diragukan. Kondisinya bisa menjadi makin berat ketika akan ditunjuk penyedia makanan yang baru pun ternyata kemampuan mengelola keamanan makanannya belum tentu lebih baik, karena keikutsertaannya yang mendadak berisiko segala sesuatunya belum cukup siap untuk menghadirkan makanan yang aman.
Diharapkan dengan kepedulian terhadap nilai beragam kerugian tersebut dapat menjadi masukan dan dipertimbangkan secara serius oleh pihak pengendali program di tingkat pusat dan daerah dalam merancang langkah perbaikan penanganan yang tepat. Jika hal ini tidak diperhatikan maka jangan baper kalau MBG diplesetkan menjadi Makanan Berbahaya dan Gaduh.(Prof. Sri Raharjo, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi - UGM)