KRjogja.com - USAHA mikro (UMI) merupakan bagian dari usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM menjelaskan UMI sebagai usaha produktif milik perorangan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro. Kriteria termaksud adalah usaha produktif milik perorangan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sesuai undang-undang, yaitu dengan jumlah aset maksimal Rp 50 juta dan omzet maksimal Rp 300 juta.
Perbedaan UMI dengan usaha kecil (UKE) dan usaha menengah (UMA) adalah dalam besarnya asset dan hasil penjualan. UKE memiliki kekayaan bersih (asset) lebih mulai dari Rp 50 juta hingga Rp 500 juta dan hasil penjualan tahunan mulai dari Rp 300 juta hingga Rp 2,5 milyar. Sementara UME memiliki kekayaan bersih mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 10 milyar dan hasil penjualan tahunan mulai dari Rp 2,5 milyar hingga Rp 50 milyar.
Pertumbuhan dan perkembangan UMI dipengaruhi beberapa faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup variabel kewirausahaan dan manajerial dari pemilik, jenis usaha dan variasi produk/jasa, pengalaman dan modal finansial yang dimiliki. Faktor eksternal terdiri dari aspek aksesibilitas ke sumber-sumber permodalan, pemasaran dan bahan baku.
Dukungan pihak eksternal (Pemerintah, Perguruan Tinggi, Perusahaan Swasta/BUMN dan lembaha lain, seperti Bank Indonesia/BI, Otoritas Jasa Keuangan/OJK dan Perbankan) sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan UMI (juga UKE dan UMA). Contoh, bentuk dukungan nyata bagi UMI (termasuk UKE dan UMA) seperti yang dilakukan oleh BI dengan: (1) peningkatan akses pembiayaan, (2) kapasitas usaha, (3) literasi keuangan dan (4) dukungan digitalisasi.
Saat ini sebagian UMI telah memanfaatkan QRIS untuk trasaksi pembayaran. Data BI (2025), sampai triwulan I/2025 pengguna QRIS telah mencapai 56,3 juta dengan volume mencapai Rp 2,6 miliar. Dari jumlah merchant QRIS tersebut, 38,1 juta diantaranya adalah UMKM (UMI, UKE dan UMA) yang telah menggunakan QRIS untuk menerima pembayaran dari pembeli/konsumen dan pihak lain.
Mengacu dari beberapa hasil riset dan pengamatan penulis di lapangan, QRIS terbukti mendukung operasi UMKM khususnya dalam transaksi pembayaran. Beberapa manfaat QRIS menurut pelaku UMKM, termasuk UME, diantaranya adalah (Sri Susilo, 2025; 2021: (1) transaksi pembayaran lebih mudah, cepat, praktis dan aman, (2) meningkatkan efisiensi, (3) mengurangi risiko, dan (4) memperluas jangkauan pasar. Disamping itu, QRIS juga memberikan manfaat bagi UMKM khususnya dalam (Sri Susilo, 2024; 2021): (1) meningkatkan daya saing, (2) meningkatkan omzet, (3) memperluas akses keuangan, dan (4) meningkatkan transparansi keuangan.
Praktek penggunaan QRIS di lapangan terkadang masih dihindari oleh pelaku UMI, seperti misalnya warung kelontong, makanan dan minuman serta pedagang skala mikro lainnya. Mereka terkadang menyimpan QR Code yang dimiliki, setelah pembeli atau konsumen akan membayar dengan QRIS pedagang baru mengeluarkan QR Code termaksud.
Alasan pelaku UMI adalah mereka masih lebih menyukai pembayaran secara tunai (cash). Argumentasi mereka uang tunai tersebut akan segera digunakan untuk membeli bahan baku atau barang dagangan dimana saat pembayaran juga dengan membayar secara tunai. Dari kasus pelaku UMI tersebut, maka keberhasilan penerapan QRIS di kalangan mereka harus didukung ekosistem yang sudah QRIS friendly. Dalam arti, baik pembeli/konsumen, pedagang/penjual dan pemasok harus sudah menggunakan QRIS dalam transaksi pembayaran.
Sosialisasi penggunaan QRIS harus mencakup ekosistem yang terkait dengan UMI, termasuk dari sisi pemasok (supplier). Penulis yakin, BI dan Perbankan pasti mengetahui dan memahami hal tersebut. Sosialisasi harus terus dilakukan dengan dukungan pemangku kepentingan khususnya paguyuban pelaku/pedagang skala UMI. Perguruan tinggi, melalui Pengabdian Masyarakat atau KKN Tematik, dapat membantu sosialisasi QRIS tersebut. (Dr. Y. Sri Susilo. Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY, Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta dan Pengurus KADIN DIY)