opini

Bangsa Simulakra

Minggu, 8 Juni 2025 | 15:50 WIB
Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum.

KRjogja.com - DI SUATU PAGI yang sibuk oleh notifikasi, seseorang mengganti foto profilnya: dirinya tersenyum, latar buram kota, seberkas cahaya matahari menyilang. Caption-nya sederhana: “Bangga jadi anak bangsa.” Lalu ratusan emoji menyusul. Teks itu bersinar, lalu menghilang. Esoknya, wajah yang sama mengunggah video dansa pendek dengan tagar nasionalisme. Ada lagu latar, ada bendera melayang, dan ada banyak penonton yang menekan like. Kebangsaan kini tampil seperti viralitas: bergerak cepat, mengkilap, mengambang. Ia bukan lagi tanah yang dipijak, tapi layar yang disentuh.

Kita hidup di zaman di mana yang penting adalah tampil. Dalam masyarakat digital, eksistensi tidak lagi ditentukan oleh kebermaknaan, tapi keterlihatan. Seperti kata Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1994) kita tak lagi hidup dalam realitas, tapi dalam salinannya—dalam dunia yang sudah tak bisa membedakan antara yang otentik dan yang artifisial. Simbol-simbol kebangsaan pun demikian nasibnya. Mereka tidak mati, tapi terlampau sering dipakai hingga kehilangan isi. Nasionalisme, yang dulu dipahat dalam perjuangan, kini diklik dalam template.

Bangsa di Era Citra

Kita menjadi bangsa yang mencintai gambar tentang bangsa, bukan bangsa itu sendiri. Seperti melihat cermin, tapi bukan untuk bercermin, melainkan berpose. Seperti menonton film dokumenter tentang kelaparan, sambil makan camilan di sofa. Kita tahu, tapi tak merasa. Kita melihat, tapi tak menyentuh. Kebangsaan direduksi jadi ornamen digital, bukan kesadaran hidup bersama.

Paul Virilio lewat buku The Vision Machine (1994) menyebut zaman ini sebagai era kelebuhan “logistik persepsi”: overexposure—segala hal tampil menyilaukan. Terlalu terang hingga tak lagi terlihat. Seperti matahari, bukan menerangi, tapi membutakan. Dalam terang digital ini, makna tak punya tempat sembunyi. Ia menguap sebelum sempat kita tangkap. Nasionalisme tidak lagi hadir sebagai percakapan batin, melainkan sebagai efek optik yang harus tampil—karena kalau tidak tampil, dianggap tidak peduli.

Generasi hari ini, terutama mereka yang lahir dan besar dalam pelukan algoritma, mengenal tanah air seperti mengenal selebgram: melalui sorotan cahaya, bukan kedalaman pengalaman makna. Bangsa menjadi content, bukan komunitas. Ia di-like, bukan dihayati.

Maka kita terjebak dalam nasionalisme performatif: mencintai tanah air cukup dengan unggahan yang patriotik, cukup dengan ikut lomba virtual bertema identitas. Tidak perlu memahami penderitaan sosial, asal bisa berkata “merdeka” dengan semangat. Ini bukan sinisme. Ini diagnosis. Kita tidak sedang kehilangan cinta, melainkan kehilangan cara mencintai dengan seutuhnya. Kita menjadi anak zaman yang gemar menyalakan lilin digital, tapi lupa menyentuh luka yang nyata.

Guy Debord, dalam Society of the Spectacle (2000) telah meramalkan masyarakat semacam ini: masyarakat yang mengonsumsi citra sebagai realitas. Di mana makna tidak ditemukan, tapi dirancang; bukan untuk direnungkan, tapi untuk ditampilkan. Maka yang lahir adalah bangsa yang selalu bersolek, tapi jarang bercermin. Generasi yang cepat menyebut “aku cinta Indonesia”, tapi gagap saat ditanya: apa yang dimaksud dengan “Indonesia”?

Bung Karno dulu menggali ide tentang bangsa dari penderitaan dan harapan, dari desa-desa, dari jalanan, dari darah dan air mata. Kini, kita menemukannya dalam feed dan filter. Dulu kebangsaan lahir dari penderitaan kolektif. Kini, ia sekadar gimmick naif. Dulu nasionalisme ditulis dengan darah. Kini, kita mencetaknya dalam bingkai digital instan.

Saya tidak hendak menyalahkan generasi ini. Mereka bukan biang, tapi korban dari sistem yang tak lagi mengajarkan bagaimana mencintai secara dalam. Kita semua, mau tidak mau, turut terlibat.

Harapan dalam Keheningan

Octavio Paz dalam The Bow and the Lyre (1956) menulis, “Nasib suatu bangsa ditentukan oleh puisi yang mereka baca.” Tapi kita tak lagi membaca puisi—apalagi hidup dalam kesadaran puitis tentang kebangsaan.

Tentu, kita tak bisa berharap semua orang menjadi filsuf. Tapi setidaknya, kita bisa berharap ada satu orang yang berani diam. Satu orang yang melepaskan kostum merah-putih penuh logo, lalu kembali ke tubuhnya sendiri. Menjadi manusia Indonesia yang hening tapi hidup. Yang tak sibuk tampil, tapi sungguh-sungguh hadir.

Kita butuh lebih banyak manusia, bukan avatar. Lebih banyak refleksi, bukan hanya reaction. Lebih banyak yang berani tinggal dalam senyap, agar suara denting nurani terdengar nyaring kembali. Mungkin dari situ, bangsa bisa lahir kembali—bukan sebagai citra, tapi sebagai tubuh yang hidup, bernapas, dan mampu merasakan luka maupun cinta. Sebab bangsa, akhirnya, bukan tentang siapa yang paling nyaring bicara “aku Indonesia”, tapi siapa yang sungguh hidup dalam maknanya—meski tanpa pernah berkata-kata. (Prof. Dr. Kasiyan, M.Hum., Guru Besar Fakutas Bahasa, Seni, dan Budaya, Universitas Negeri Yogyakarta).

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB