opini

Paket Stimulus

Jumat, 13 Juni 2025 | 10:10 WIB
Bagong Suyanto.

KRjogjacom - MESKI ruang fiskal terbatas, pemerintah tetap memutuskan untuk menggelontorkan sejumlah paket stimulus bagi masyarakat. Tujuannya selain untuk meringankan beban masyarakat, yang tak kalah penting lima paket stimulus yang digulirkan di bulan Juni-Juli juga dimaksudkan untuk mendongkrak daya beli masyarakat dan konsumsi domestik.

Paket stimulus yang digulirkan bukan hanya diskon tiket pesawat, kereta api dan angkutan laut, tetapi juga diskon tarif tol untuk 110 juta kendaraan. Selain itu, pemerintah juga akan menggulirkan paket-paket bantuan sosial, bantuan pangan, bantuan subsidi upah sebesar Rp 300.000 per bulan untuk 17,3 juta pekerja bergaji di bawah 3,5 juta rupiah, serta subsidi Rp. 600.000 bagi 565 ribu guru honorer selama dua bulan. Bagi pekerja berupah rendah, pemerintah juga akan memperpanjang diskon 50% untuk iuran JKK selama 6 bulan ke depan.

Keputusan pemerintah kembali menggulirkan paket stimulus ini, terutama untuk merespon sinyal perlambatan ekonomi yang terjadi dalam tiga-lima bulan terakhir. Terjadinya stagnasi daya beli masyarakat, pelemahan rupiah, pasar saham yang sempat terancam kolaps, gugurnya sejumlah ritel besar, dan kondisi APBN yang bermasalah merupakan alarm bahwa kondisi ekonomi nasional sedang tidak baik-baik saja.

Menakar

Di tengah kondisi perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja, apakah paket stimulus yang digelontorkan akan memberikan manfaat seperti yang diharapkan? Dalam jangka pendek, memang paket kebijakan tersebut mungkin dapat membantu menopang konsumsi, tetapi niscaya tidak akan cukup kuat untuk menciptakan lonjakan konsumsi yang signifikan pada kuartal II-2025 dan kuartal–III 2025. Apalagi kalau kebijakan ini di saat yang bersamaan tidak dibarengi dengan perbaikan struktur pendapatan dan iklim usaha yang mendukung penciptaan lapangan kerja.

Secara garis besar, ada dua hal yang perlu diperhatikan bila pemerintah benar-benar menggulirkan paket stimulus di bulan Juni-Juli. Pertama, paket stimulus yang digelontorkan bukan tidak mungkin berdampak kontra-produktif, dan melahirkan inflasi apabila tidak diimbangi dengan peningkatan produksi dan pasokan barang yang cukup. Alih-alih mendongkrak daya beli dan konsumsi, paket stimulus yang digelontorkan bukan tidak mungkin malah melahirkan beban baru bagi masyarakat.

Kedua, alokasi anggaran untuk mendukung pelaksanaan paket stimulus, niscaya akan membebani anggaran yang sudah terlanjur cekak. Seperti diketahui, setiap tahun pemerintah beban bunga utang yang mesti ditanggung pemerintah setiap tahunnya mencapai Rp 389 triliun. Kebutuhan dana untuk paket stimulus ini, tentu akan melahirkan masalah baru jika dipenuhi dari pencetakan dan pengadaan uang baru. Di tengah keterbatasan anggaran pembangunan yang dimiliki, tentu tidak mudah bagi pemerintah untuk memastikan penyediaan pendanaan bagi pelaksanaan program paket stimulus itu. Bahkan, memaksakan alokasi anggaran yang besar untuk program stimulus baru ini justru akan berpotensi memperlebar defisit anggaran hingga 50-80 triliun rupiah.

Dilema

Secara objektif harus diakui tidak banyak pilihan yang dapat diambil pemerintah untuk mendongkrak kembali daya beli dan pertumbuhan ekonomi. Ketika indikator makroekonomi cenderung memburuk, maka keputusan apa pun yang diambil pemerintah niscaya akan melahirkan sejumlah dilema.

Pertama, untuk mendongrak daya beli masyarakat, pemerintah tentu harus memiliki dukungan anggaran yang cukup untuk menggulirkan dan membiayai program-program bantuan sosial yang ditujukan kepada masyarakat (miskin). Padahal, saat ini kondisi APBN justru sedang lesu. Memaksakan terus membiayai program-program yang membutuhkan dukungan dana jumbo, tentu akan banyak mengorbankan aspek-aspek lain yang tak kalah penting. Meski pada bulan April yang lalu, APBN dilaporkan telah surplus setelah tiga bulan berturut-turut minus, tetapi besarannya tetap belum cukup memadai untuk mendanai kebutuhan pengguliran berbagai program pembangunan.

Kedua, untuk mencegah Indonesia agar tidak makin terpuruk, kuncinya bukan hanya efisiensi anggaran, tetapi yang tak kalah penting adalah memastikan agar pelaku usaha, investor dan masyarakat umum tidak lagi ragu pada kondisi dan prospek usaha di Indonesia. Dalam konteks ini, yang dibutuhkan selain kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak kontradiktif, juga kesungguhan pemerintah dalam menarik investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

Meningkatkan pendapatan, upah pekerja, membuka lapangan kerja yang mampu menyerap para pengangguran, memberdayakan ekonomi lokal adalah program yang semestinya dikembangkan pemerintah untuk memastikan peningkatan daya beli masyarakat. Masalahnya adalah darimana sumber pendanaan untuk mewujudkan apa yang kita harapkan? Inilah pertanyaan utama yang melahirkan berbagai dilema bagi pemerintah (Bagong Suyanto, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga)

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB