KRjogja.com - DI tengah gegap gempita pembangunan ekonomi, ada jutaan tangan yang terus bekerja tanpa henti, mengais rezeki di antara ketidakpastian. Mereka adalah buruh pabrik, karyawan ritel, dan pekerja harian yang gajinya tak pernah cukup untuk mengejar harga beras dan minyak goreng yang terus merangkak naik. Lalu, datanglah Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebuah kebijakan yang dielu-elukan sebagai solusi, tetapi justru menyisakan pertanyaan besar, benarkah ini jalan menuju keadilan, atau sekadar bantuan tempelan yang menunda masalah?
Hingga Juli 2025, sebanyak 85% dari 17,3 juta penerima BSU telah menerima bantuan subsidi upah. Bisa dibayangkan jika 14,7 juta penerima BSU bukan hanya menerima Rp 600.000,00 untuk bertahan hidup, tetapi juga mendapat kesempatan mengubah nasib melalui pelatihan, akses modal, atau lapangan kerja baru, dana triliunan tersebut tidak hanya mengisi dompet sesaat, tetapi membangun jalan keluar dari jerat upah rendah dan ketergantungan.
Inilah yang hilang dari BSU, keberanian untuk mentransformasi bantuan menjadi lompatan kemajuan. Bahwa kebijakan sosial seharusnya membebaskan, bukan sekadar memberi nafas tambahan.
Pada tahun 2025 Program BSU digulirkan pemerintah sebagai respons terhadap tekanan ekonomi global dan domestik yang membebani pekerja berpenghasilan rendah.
Dengan total anggaran Rp 10,72 triliun untuk 17,3 juta penerima, BSU memberikan bantuan tunai sebesar Rp 600.000, untuk dua bulan bagi pekerja formal yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta. Pertimbangan pemerintah BSU diperlukan untuk menjaga daya beli di tengah inflasi dan kenaikan harga pangan, mencegah PHK massal, serta memutar roda ekonomi mikro.
Namun, di balik maksud baik tersebut, BSU kerap menjadi tidak edukatif, tidak tepat sasaran, dan hanya bersifat konsumtif. Alih-alih menjadi solusi struktural, program tersebut justru memperlihatkan kelemahan sistem perlindungan sosial yang masih bersifat reaktif dan parsial.
BSU diberikan berdasarkan gaji pokok, sehingga banyak pekerja yang sebenarnya berpenghasilan diatas Rp 3,5 juta (setelah ditambah dengan tunjangan) tetap menerima bantuan.
Di sisi lain, pekerja informal yang justru lebih rentan tidak terjangkau karena syarat utama adalah kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Ada 140 juta angkatan kerja di Indonesia, yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan hanya 39,7 juta, masih ada jutaan pekerja sektor informal terabaikan.
BSU seolah sekedar dirancang sebagai stimulus konsumsi, dan penerimanya masih banyak mengalokasikan dana untuk kebutuhan sehari-hari seperti pangan dan transportasi. Sehingga bantuan ini tidak meningkatkan kapasitas produktif penerima.
Penyaluran BSU juga tidak merata, di perkotaan (Jakarta, Bandung, Surabaya) lebih cepat terserap karena infrastruktur perbankan yang baik. Sementara di Daerah 3T (Papua, NTT) terhambat oleh keterbatasan akses BPJS dan bank.
Dari perspektif sosiologi, ini cermin budaya ketergantungan dimana masyarakat terbiasa menerima bantuan instan tanpa peningkatan keterampilan atau lapangan kerja baru. Amartya Sen dalam development as freedom mengkritik kebijakan yang hanya memberi ikan, bukan kail. BSU adalah kebijakan darurat yang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan Indonesia.
Kebijakan sosial seharusnya berorientasi pada pemberdayaan, bukan sekadar bantuan tunai. Dan BSU bersifat temporal, sementara akar permasalahannya terletak pada lapangan kerja terbatas, upah rendah, serta ketimpangan, sehingga memerlukan solusi struktural.
Jika pemerintah serius membangun sistem perlindungan sosial yang berkelanjutan, ada baiknya BSU diarahkan menjadi kebijakan yang lebih transformatif, menggabungkan BSU dengan pelatihan keterampilan (reskilling) seperti model Filipina, Jerman atau Perancis.
Di Jerman dan Perancis, subsidi diberikan langsung ke perusahaan dalam bentuk skema kerja paruh waktu bersubsidi, sehingga PHK bisa dicegah tanpa harus menurunkan pendapatan pekerja. Sementara di Filipina, bantuan tunai diikuti dengan pelatihan ulang berbasis digital, membekali pekerja dengan keterampilan baru yang diperlukan.
BSU bisa menjadi langkah awal menuju sistem Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang terstruktur, yang mensyaratkan adanya komitmen politik untuk reformasi BPJS Ketenagakerjaan, dibarengi program pendamping (pelatihan, pemagangan) serta sumber pendanaan berkelanjutan (iuran dan APBN). Tanpa perubahan fundamental, BSU hanya akan menjadi ban sementara di tengah kebocoran besar sistem ketenagakerjaan Indonesia.(Puji Qomariyah, M.Si, Dosen Sosiologi Universitas Widya Mataram Yogyakarta)