opini

Romansa Rojali dan Rohana, di Tengah Kegaduhan Komunikasi Publik

Jumat, 8 Agustus 2025 | 21:35 WIB
Nugroho Agung Prasetyo, S.Sos., M.Si. (Dok.)

Krjogja.com - Fenomena Rojali, singkatan dari “rombongan jarang beli”, dan Rohana “rombongan hanya nanya” yang meramaikan media sosial belakangan ini bukanlah sekadar humor segar khas netizen Indonesia. Di balik kelucuannya, istilah ini menyimpan potret getir keseharian masyarakat kelas menengah urban yang sedang bergulat dengan realitas ekonomi yang kian menekan.

Dalam kajian ilmu komunikasi, istilah semacam ini tergolong dalam ekspresi folk economics, yaitu narasi ekonomi yang lahir dari masyarakat secara organik sebagai bentuk respons terhadap tekanan kondisi ekonomi riil.

Rojali dan Rohana adalah cermin dari kegamangan sosial. Ia bukan produk korporasi, bukan pula hasil kampanye politik. Ia lahir dari bawah (bottom-up), diciptakan oleh publik, dan menyebar melalui ruang digital yang makin demokratis.

Yang menarik, istilah ini mampu menangkap nuansa yang tak tertulis dalam statistik ekonomi resmi. Ia tidak menyodorkan angka, melainkan perasaan tak sanggup belanja, meski diskon menggoda di etalase, atau perasaan canggung menawar barang tapi akhirnya hanya menanyakan harga.

Fenomena ini muncul di tengah narasi ekonomi pemerintah yang cenderung menonjolkan keberhasilan makro: pertumbuhan ekonomi 4,7 persen, inflasi terkendali, surplus neraca perdagangan, dan tingkat pengangguran terbuka yang menurun.

Narasi ini tentu penting untuk menjaga kepercayaan investor dan stabilitas makroekonomi. Namun, ketika disandingkan dengan pengalaman mikro warga, harga beras yang tak kunjung turun, ongkos hidup yang melonjak, dan upah yang stagnan, menjadi kontras yang mencolok.

Terjadi apa yang dalam komunikasi disebut sebagai mismatch frame, ketidaksesuaian antara bingkai pesan pemerintah dan persepsi publik.

Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia, Arsjad Rasjid, secara gamblang menyampaikan bahwa kondisi riil masyarakat saat ini ditandai oleh daya beli yang menurun drastis.

Bahkan, menurutnya, “masyarakat bisa dikatakan tidak punya uang saat ini.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan diperkuat oleh data.

Ada 7,28 juta pengangguran terbuka, hampir 60 persen angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal, dan mayoritas masyarakat menggantungkan hidup dari dua sumber utama: laba usaha (pedagang) dan penghasilan tetap (pekerja).

Jika dua sumber ini terganggu, maka pertumbuhan ekonomi bisa kehilangan pijakan dasarnya.

Di sinilah letak ironi komunikasi ekonomi kita. Di satu sisi, pemerintah menyampaikan narasi sukses yang terdengar megah, sementara di sisi lain, masyarakat menyiarkan narasi humoris yang getir.

Ketika publik mengekspresikan realitas melalui simbol dan satire, pemerintah justru merespons dengan defensif. Ini yang disebut sebagai resistensi komunikasi, yaitu kecenderungan pemerintah untuk menolak atau menangkis kritik publik, bukan menerimanya sebagai bagian dari proses demokrasi.

Contoh resistensi komunikasi ini dapat kita lihat dalam beberapa kasus lain yang tampaknya sepele, namun memantik reaksi keras dari otoritas. Ambil contoh kasus bendera One Piece yang sempat dianggap sebagai simbol pembangkangan, padahal hanya sebatas budaya pop.

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB