opini

Kendaraan Listrik Bukan Solusi Utama Permasalahan Transportasi

Senin, 11 Agustus 2025 | 14:40 WIB
Dr. Nindyo Cahyo Kresnanto, S.T., M.T.

KRjogja.com - KENDARAAN LISTRIK (Electric Vehicle/EV) kerap dipromosikan sebagai solusi masa depan dalam menjawab tantangan lingkungan dan krisis energi. Namun, narasi ini kerap mengaburkan kenyataan bahwa permasalahan utama transportasi di banyak negara, termasuk Indonesia, bukan semata polusi udara atau emisi karbon, melainkan tingginya tingkat permintaan terhadap kendaraan pribadi. Transisi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke EV, tanpa perubahan mendasar pada pola mobilitas dan sistem transportasi, justru akan memperparah masalah perkotaan seperti kemacetan, polusi terselubung, ketimpangan akses, dan tingginya biaya sosial.

Pertumbuhan kendaraan pribadi di Indonesia telah mencapai lebih dari 10% per tahun, dengan dominasi sepeda motor dan mobil pribadi. EV, dengan segala insentif dan kemudahan regulasi, berpotensi menambah volume kendaraan di jalan. Alih-alih menurunkan tingkat kepemilikan kendaraan, kebijakan ini justru mempercepat adopsi kendaraan baru yang akan semakin membebani kapasitas jalan yang terbatas. Dalam konteks ini, EV bukanlah solusi terhadap kemacetan, melainkan akselerator masalah.

Baca Juga: 6.031 Mahasiswa Baru UPN Veteran Yogyakarta Ikuti PPKBM 2025

Kemacetan membawa dampak turunan yang signifikan, mulai dari peningkatan biaya perjalanan (baik dari sisi waktu maupun ekonomi), stres berkepanjangan, hingga gangguan kesehatan akibat paparan polusi udara dan kebisingan. Meski EV tidak menghasilkan emisi langsung di jalan, mereka tetap menciptakan polusi dari sumber lain—baik dari pembangkitan listrik (yang sebagian besar masih berasal dari batu bara), proses manufaktur baterai yang intensif energi dan sumber daya alam, hingga limbah baterai yang belum dikelola dengan optimal. Dengan kata lain, EV hanya memindahkan sumber polusi dari sektor transportasi ke sektor energi dan industri manufaktur—menciptakan “polusi terselubung” yang sulit dipantau secara langsung. 

Jika pertanyaannya adalah “Apakah EV ramah lingkungan?”, maka jawabannya perlu dilihat secara kritis dan menyeluruh. EV memang lebih bersih di titik penggunaannya, tetapi tidak serta merta ramah lingkungan dalam keseluruhan siklus hidupnya (life cycle assessment). Kita perlu berhati-hati terhadap ilusi keberlanjutan yang ditawarkan tanpa memperhitungkan konteks sosial, ekonomi, dan spasial. 

Baca Juga: HUT RI 80 Tahun, KA Bandara YIA Xpress Beri Diskon Penumpang 80 Persen

Lebih dari itu, pemberian subsidi besar-besaran untuk pembelian EV pribadi cenderung hanya menguntungkan kelompok masyarakat kelas menengah atas—mereka yang mampu membeli mobil listrik pribadi dengan harga yang relatif mahal. Kelompok berpenghasilan rendah, yang justru paling terdampak oleh buruknya sistem transportasi umum, tidak mendapat manfaat berarti dari kebijakan ini. Akibatnya, subsidi ini berpotensi memperlebar ketimpangan akses terhadap mobilitas yang layak dan berkelanjutan.

Dalam konteks inilah, transportasi umum berbasis listrik dan bersubsidi menjadi solusi paling rasional dan berkeadilan. Sistem angkutan umum yang andal, terjangkau, dan ramah lingkungan tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan pribadi, tetapi juga memberikan akses mobilitas yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat. Pengembangan transportasi publik seperti bus listrik, kereta api perkotaan, dan sistem transit terpadu akan memberikan dampak jauh lebih besar dalam menurunkan emisi, mengurangi kemacetan, dan memperbaiki kualitas hidup di perkotaan.

Baca Juga: Cuti Bersama 18 Agustus 2025 untuk Semua Karyawan Atau Hanya ASN?

Mendorong pergeseran paradigma mobilitas dari “kendaraan pribadi ramah lingkungan” ke “mobilitas kolektif berkelanjutan” merupakan langkah strategis menuju sistem transportasi yang lebih adil, efisien, dan resilient. Pemerintah harus berani menata ulang prioritas investasinya: dari subsidi pembelian EV pribadi, menuju pembangunan jaringan angkutan umum yang inklusif, terintegrasi, dan berbasis energi bersih. Tanpa itu, kita hanya mengganti bentuk kendaraan, bukan menyelesaikan akar masalah transportasi. (Dr. Nindyo Cahyo Kresnanto, S.T., M.T., Ketua Program Studi Magister Teknik Sipil, Universitas Janabadra - Yogyakarta)

 

 

 

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB