opini

Theatrum Vanitas di Senayan

Sabtu, 23 Agustus 2025 | 14:10 WIB
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH.

 

KRjogja.com - PARLEMEN dalam tradisi ketatanegaraan modern sering disebut sebagai the temple of democracy, kuil tempat kedaulatan rakyat dijaga, martabat demokrasi ditegakkan, serta etika bernegara dirawat. Namun, bangsa ini baru saja dipaksa menyaksikan bagaimana “kuil” itu dinodai oleh kelakuan para imamnya sendiri. Sidang Tahunan MPR pada tanggal 15 Agustus 2025, yang seharusnya menjadi “tempat suci” (locus sacer) dari mandat konstitusi, berubah menjadi panggung hiburan. Tarian sebagian anggota DPR di ruang sidang agung itu bukanlah ekspresi kebudayaan, melainkan penodaan simbolis terhadap martabat lembaga perwakilan rakyat yang dalam istilah klasik disebut theatrum vanitas alias panggung kesia-siaan.

Fenomena itu tidak bisa dipandang remeh. Sebab jogetan yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPR RI bukan sekadar tindakan personal yang dianggap “kurang pantas,” melainkan pelanggaran serius terhadap etika parlemen. Dalam teori etika parlementer dikenal prinsip continuïteit van waardigheid atau kesinambungan kehormatan yang harus dijaga tanpa putus, baik melalui kata, sikap, maupun ekspresi. Sekali kehormatan itu ternoda, runtuhlah kepercayaan publik (fides publica). Dan ketika kepercayaan publik runtuh, seluruh bangunan demokrasi menjadi rapuh.

Baca Juga: Gerindra DIY Temui Sultan di Kraton Kilen, Siap Suarakan Aspirasi Danais ke Pemerintah Pusat

Rakyat tidak diam. Mereka menyampaikan kemarahan melalui media sosial, karena dari buruh yang siang malam mencari nafkah, keluarga yang tercekik harga kebutuhan hidup belum lagi dibebani pajak yang berlipat-lipat, anak muda yang menganggur, hingga rakyat kecil yang mengais sisa makanan melihat perilaku seperti itu seolah melihat nasib mereka menjadi bahan ejekan anggota DPR lewat jogetannya. Mereka menyuarakan satu kata tegas: jijik. Rasa jijik itu bukan sekadar emosi sesaat, melainkan ekspresi penolakan moral terhadap perilaku yang dianggap melecehkan penderitaan rakyat. Montesquieu pernah mengingatkan, Le pouvoir sans limite est toujours tyrannique, artinya kekuasaan tanpa kendali adalah tirani, dan jika ditempatkan dalam konteks Parlemen, maka parlemen tanpa etika adalah jalan menuju kehinaan.

Majelis Kehormatan Dewan (MKD) berada pada persimpangan sejarah. Diam berarti restu, ragu berarti kelemahan, dan bungkam berarti pengkhianatan, karena yang diam dianggap menyetujui. Sejarah akan mengingat apakah MKD berdiri sebagai custos dignitatis (penjaga martabat) atau justru terjebak menjadi pelindung aib.

Tindakan joget di ruang sidang bukanlah hiburan, tetapi bentuk contempt of parliament, pelecehan terhadap lembaga yang seharusnya mewakili kedaulatan rakyat. Demokrasi tidak boleh direduksi menjadi pesta pora, karena sejatinya parlemen adalah ruang kehormatan atau Parlamentum est locus honoris. Ketika ruang itu disulap menjadi arena tarian, maka konstitusi dihina secara simbolis, rakyat direndahkan secara moral, dan demokrasi kehilangan makna substantifnya.

Baca Juga: Prabowo Bakal Pidato di Sidang Umum PBB September 2025

Dalam filsafat hukum, martabat adalah basis etik dari kekuasaan. Legitimasi tidak lahir dari sekadar prosedur pemilu, melainkan dari kepercayaan rakyat bahwa wakil-wakilnya menjaga integritas. Maka, setiap tindakan anggota parlemen di ruang sidang bukan hanya milik pribadi, melainkan representasi lembaga. Jika integritas itu hancur, parlemen berubah menjadi panggung kosong, sekadar theatrum vanitas yang memperlihatkan wajah demokrasi dalam rupa paling banal dan brutal.

Oleh karena itu, langkah yang paling rasional dan etis adalah memberikan sanksi tegas kepada anggota DPR RI yang menjadikan sidang negara sebagai panggung joget. Pemberian sanksi bukan sekadar mekanisme hukuman, melainkan sebuah instrumen untuk memulihkan fides publica (kepercayaan publik), menjaga martabat parlemen, serta memastikan bahwa demokrasi di negeri ini masih berlandaskan pada nilai-nilai etika dan tanggung jawab konstitusional. Demokrasi itu lahir dari pengorbanan, bukan dari pesta. Rakyat membayar mahal harga kebebasan melalui darah, air mata, dan penderitaan. Karena itu, ketika parlemen berubah menjadi arena hiburan, rakyat berhak untuk marah. Dan amarah rakyat, bila terus diabaikan, dapat menjadi badai yang menggulung segala bentuk kesewenang-wenangan.

Majelis Kehormatan Dewan masih memiliki kesempatan untuk menunjukkan jati dirinya. Apakah ia akan dikenang sebagai benteng terakhir martabat parlemen, atau sebaliknya—sebagai saksi bisu kehinaan sejarah. Pilihan itu kini berada di tangan para anggota MKD.

Baca Juga: Jadi Tersangka Immanuel Ebenezer Menangis dan Minta Maaf

Sejarah tidak pernah melupakan. Dan rakyat, betapapun sering diremehkan, selalu tahu cara mengingat. (Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo., SH., MH., TACB., Adv, Dosen Fakultas Hukum UAJY, Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta, dan Anggota Tim Ahli Cagar Budaya DIY)

 

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB