KRjogja.com - GELOMBANG demonstrasi yang merebak di berbagai kota Indonesia beberapa hari terakhir merupakan cermin kegelisahan rakyat terhadap wajah politik yang dirasa semakin jauh dari nurani publik. Akar persoalannya jelas: kebijakan tunjangan perumahan DPR yang dinilai berlebihan di tengah kesulitan ekonomi rakyat, serta kemarahan publik setelah tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tertabrak kendaraan taktis Brimob. Dua peristiwa itu menjadi titik api yang menyulut protes nasional.
Kehadiran Sri Sultan
Demo di Jogja menjadi istimewa dengan kehadiran langsung Sri Sultan Hamengku Buwono X di tengah massa. Pada Jumat malam (29/8/2025), Sultan mendatangi Mapolda DIY, menemui para demonstran, menyampaikan empati atas gugurnya Affan, dan mengajak massa menyalurkan aspirasi dengan tertib. Beliau bahkan memfasilitasi pembebasan sejumlah demonstran.
Kehadiran Sultan mampu meredakan situasi. Suasana makin khidmat karena interaksi Sultan dengan para pedemo diiringi lantunan Gendhing Raja Manggala. Massa yang semula emosional, perlahan menenangkan diri. Sultan menekankan bahwa demokrasi adalah jalan kebersamaan: rakyat berhak bersuara, pemerintah wajib mendengar, dan semua pihak harus menolak kekerasan. Kehadiran beliau membuktikan bahwa kepekaan pemimpin dapat menjadi penyangga dalam merawat demokrasi.
Kehadiran Sultan di ruang publik membawa pesan moral dan politik yang patut digarisbawahi. Pertama, pemimpin yang mau turun langsung ke akar rumput menunjukkan penghargaan terhadap martabat warga. Hal ini membangun kepercayaan publik bahwa suara rakyat didengarkan. Kedua, Sultan menegaskan peran Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan budaya: demokrasi harus ditempuh dengan akal sehat, dialog, dan tanggung jawab sosial. Ketiga, langkah Sultan membebaskan demonstran menunjukkan bahwa hukum bukan sekadar alat represi, melainkan wahana keadilan yang memberi ruang bagi proses politik yang sehat.
Tetap Waspada
Kita juga tidak boleh menutup mata bahwa setiap gerakan massa berpotensi ditunggangi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Pengalaman sejarah menunjukkan, provokator dapat menyusup untuk mengarahkan aksi menjadi anarkis, merusak fasilitas publik, bahkan sampai mengorbankan jiwa. Apa yang terjadi di Makassar, gedung DPRD dibakar dan menelan korban, menjadi alarm bahwa aksi yang awalnya damai bisa bergeser menjadi tragedi. Karena itu, antisipasi harus dilakukan sejak dini: aparat keamanan perlu menjamin kebebasan berekspresi tanpa bersikap represif, masyarakat sipil harus menjaga solidaritas aksi agar tetap damai, dan pemimpin lokal maupun nasional harus hadir memberi teladan dialogis, seperti yang ditunjukkan Sultan HB X.
Ujian Demokrasi
Gelombang protes di berbagai kota, dengan segala risiko dan potensinya, sejatinya adalah ujian bagi bangsa ini. Kita diuji apakah demokrasi akan kita rawat dengan kedewasaan ataukah kita biarkan direduksi menjadi kerusuhan. Kehadiran Sultan di Jogja memberi inspirasi: demokrasi tidak harus identik dengan kekerasan. Justru, ketika pemimpin mendengar dengan hati, rakyat pun bersuara dengan cara yang lebih beradab.
Ki Hadjar Dewantara berpesan, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu memberi teladan di depan, membangkitkan semangat di tengah, dan mendorong rakyat dari belakang. Kehadiran Sultan HB X di tengah massa adalah wujud nyata semboyan itu.
Demokrasi yang Damai
Kini, setelah suara rakyat menggema dari Jakarta hingga Papua, tugas negara adalah menunjukkan kepekaan. DPR perlu meninjau ulang kebijakan yang menyinggung rasa keadilan publik. Pemerintah harus memastikan kematian Affan tidak berhenti pada duka, melainkan menjadi titik balik reformasi kepolisian yang lebih humanis. Para pemimpin perlu belajar dari Sultan: merangkul rakyat, bukan menutup telinga.
Yogyakarta kembali menunjukkan wajahnya sebagai penopang demokrasi yang menekankan musyawarah dan kebersamaan. Di tengah gejolak nasional, langkah Sultan adalah oase penyejuk. Semoga energi damai ini merembes ke kota-kota lain, agar bangsa ini tetap utuh dalam keberanian menyuarakan aspirasi, sekaligus dewasa dalam menjaga keamanan dan kesatuan bangsa.(Bernardus Agus Rukiyanto, Dosen Universitas Sanata Dharma)