Krjogja.com - “Yang Mulia telah membenarkan sistim penyalah gunaan kekuasaan, perampokan dan pembunuhan terhadap orang Jawa yang malang dan aku mengeluhkan hal itu” (Multatuli, Max Havelaar hal. 459, terjemahan Ingrid Dwijani Nimpoeno, Qonita, Bandung 2014).
Novel itu ditulis oleh seorang pegawai kolonial Belanda yang menggunakan nama Multatuli dan terbit pertama kali tahun 1860 . Novel tersebut ditulis Multatuli berdasarkan beragam peristiwa yang ia hadapi dalam posisinya sebagai Asisten Residen di Lebak (provinsi Banten sekarang).
Asisten Residen adalah pejabat tinggi di tingkat afdeling (semacam wilayah administratif setingkat kabupaten) yang bertanggung jawab atas urusan wilayah tersebut, bekerja sama dengan bupati setempat.
Secara administratif ia bertanggung jawab kepada Residen yang berada di bawah Gubernur Jendral sebagai kepala dan pemegang kekuasaan tertinggi di suatu wilayah jajahan kerajaan Belanda saat itu. Gubernur Jendral bertanggung jawab langsung kepada Ratu Belanda.
Eduard Douwes Dekker nama asli Multatuli, menulis novel yang mengguncang nurani bangsanya tersebut, Max Havelaar. Ia menulis untuk menggugat pelaksanaan jalannya program Tanam Paksa (cultuurstelsel) melalui kekuasaan Belanda di wilayah dimana ia bekerja.
Ia menyaksikan sendiri bagaimana rakyat di Lebak, Banten, ditindas oleh pejabat lokal yang merampas kerbau, memeras petani, dan membungkam suara. Ia melaporkan semuanya berulang kali, tapi Gubernur Jenderal di Batavia memilih diam.
Dalam buku itu Multatuli menulis kalimat yang masih terasa pedih hingga kini, “Saya tahu bahwa Anda tahu. Tapi mengapa Anda tidak berbuat apa-apa?” Lebih dari satu setengah abad berlalu sejak buku itu pertama kali terbit, Indonesia telah merdeka delapan puluh tahun, tapi pertanyaan itu belum kehilangan relevansinya.
Kesewenangan dan penyalah gunaan kekuasaan serta perampasan yang menjadi titik sentral buku Max Havelaar masih terus terjadi hingga hari ini. Semuanya mengakar pada perilaku koruptif para pejabat.
Multatuli menulis dengan penuh kemarahan dan empati. Ia menggambarkan bagaimana pejabat kolonial dan elite lokal menindas rakyat kecil melalui sistem tanam paksa, korupsi, dan kekuasaan yang tak berpihak.
Cerita tentang sepasang remaja Saijah dan Adinda yang ada dalam buku itu, bukan hanya sekadar tragedi cinta.
Kisah itu merupakan simbol penderitaan agraria dan hilangnya harapan rakyat Lebak akibat keserakahan para pejabat lokal yang mendapat perlindungan dari pemerintah kolonial Belanda melalui sikap pura-pura tidak tahu dan hanya mengirimkan laporan-laporan yang baik dan bagus saja (“kedamaian yang sangat damai – Multatuli).
Dulu Kerbau, Kini Kuota Haji dan Eksplorasi Timah
Cerita Multatuli belum selesai ditulis. Hari ini, kita menyaksikan bentuk perampasan dan penindasan yang berbeda, tapi dengan pola yang sama.
Dalam kasus korupsi kuota haji misalnya, harapan jutaan umat untuk berangkat ke tanah suci malah dijadikan bahan bancakan korupsi oleh para pejabat dan pengusaha biro travel haji. Kuota tambahan yang seharusnya untuk jemaah reguler malah dijual, dan uangnya mengalir ke para oknum pejabat dan pengusaha korup.