Dulu kerbau dirampas, kini kuota dijual dan tanah digali tanpa izin.
Rakyat tetap kehilangan: harapan, suara, kesempatan dan masa depan.
Ketika Rakyat Bicara, Penguasa (Negara) Membalas
Dalam Max Havelaar kita membaca bagaimana rakyat Lebak yang berusaha mempertahankan kerbau milik mereka yang dirampas berulang kali oleh Demang Parang Kujang yang lalim, harus menerima pembalasan yang tak tertahankan.
Ibunda Saijah mati merana dan ayahnya yang mencoba kabur dari Banten karena takut tak bisa membayar pajak, ditangkap karena tak memiliki Surat Jalan. Ia dipenjara di Badur karena dianggap gila hingga akhirnya meninggal dunia.
Sebagaimana mungkin pun rakyat jelata seperti keluarga Saijah menghadapi kezaliman penguasa lokal yang mendapat dukungan dari pemerintah kolonial, ia tak akan mampu. Pilihannya hanya menerima, pasrah dan mati miskin.
80 tahun sudah Indonesia merdeka, namun sejarah nampaknya berulang Kembali. Gelombang demonstrasi mahasiswa dan rakyat pada 25 Agustus 2025 menjadi kulminasi geram dan kemarahan rakyat akan perilaku para wakil rakyat yang melenceng jauh dari yang diharapkan.
Demo menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset, reformasi DPR, dan penghentian politik dinasti. Apa yang terjadi ; suara rakyat itu dijawab dengan gas air mata, peluru karet, dan bentrokan brutal.
Sembilan jiwa melayang. Ratusan luka-luka. Ribuan ditangkap. Di antara korban, ada pelajar yang baru mengenal makna demokrasi, dan mahasiswa yang baru belajar tentang konstitusi.
Mereka tidak mati karena melawan hukum. Mereka mati karena menuntut keadilan.
Presiden dan Gubernur Jenderal: Dua Wajah, Satu Watak?
Presiden Prabowo telah menyampaikan belasungkawa. Beliau juga memanggil elite politik, dan menjanjikan evaluasi. Tambahan tunjangan rumah yang menjadi salah satu pemicu demo sudah dibatalkan, namun tuntutan utama rakyat belum dijawab.
Belum ada langkah konkret untuk reformasi DPR, tidak ada pengesahan RUU Perampasan Aset, dan tidak ada evaluasi menyeluruh terhadap tindakan aparat keamanan serta kerusuhan yang terjadi.
Sikap ini mengingatkan kita pada Gubernur Jenderal dalam buku Max Havelaar: tahu, tapi tidak bertindak. Dulu, Gubernur Jenderal membaca laporan dan menutup mata. Kini, Presiden membaca berita dan menutup pintu reformasi?. Semoga bukan ini yang terjadi.
Max Havelaar bukan hanya novel, tapi luka yang menulis dirinya sendiri. Dan rakyat, seperti Adinda, masih menunggu di bawah pohon Ketapang—yang kini tumbuh di depan gedung DPR, di jalanan yang basah oleh gas air mata, dan di hati mereka yang kehilangan anak, tapi tidak kehilangan keberanian.
Multatuli mengajarkan bahwa keberanian untuk bersuara adalah bentuk tertinggi dari etika. Dan gugatan itu belum selesai, karena selama masih ada rakyat yang kehilangan suara, tanah, dan harapan artinya Max Havelaar belum selesai ditulis.
(Premita Fifi Widhiawati, Pendiri dan Pengurus Lebah Juris Makara)