KRjogja.com - SEPANJANG tahun 2025, perbankan Indonesia menunjukkan kondisi yang terlihat stabil. Kredit tumbuh dua digit, likuiditas longgar, dan permodalan bank berada di level aman. Sekilas, stabilitas ini menunjukkan industri perbankan berada di jalur positif. Namun di balik kekuatan angka tersebut, muncul dua risiko besar yang justru semakin menekan, yaitu ketidakpastian global dan lonjakan kejahatan digital.
Tekanan global berasal dari gejolak suku bunga internasional, perlambatan ekonomi negara maju, serta potensi arus modal keluar. Kondisi ini dapat meningkatkan biaya pendanaan bank dan menekan kemampuan bayar nasabah. Daerah seperti Yogyakarta, yang banyak bergantung pada UMKM dan sektor jasa, sangat rentan terhadap perubahan tersebut. Risiko kredit bermasalah bisa meningkat jika bank tidak memperkuat prinsip kehati-hatian.
Bersamaan dengan itu, perbankan menghadapi ancaman kejahatan digital yang terus berkembang. Transaksi mobile dan QRIS memang memudahkan masyarakat, tetapi juga menjadi celah baru bagi penipuan online, pembajakan akun, dan pencurian data. Ketika ini terjadi, bukan hanya nasabah yang dirugikan, tetapi juga reputasi perbankan. Kepercayaan publik dapat menurun dalam waktu singkat jika keamanan digital tidak diperkuat.
Transformasi digital di dunia perbankan memang membuka peluang besar, tetapi juga menuntut kesiapan yang lebih tinggi. Bank tidak bisa sekadar menawarkan layanan digital tanpa memperhatikan keamanan yang memadai. Semakin besar volume transaksi elektronik, semakin besar potensi ancaman yang harus diantisipasi.
Menurut penulis, ada tiga langkah penting yang harus segera diambil:
Pertama, bank perlu memperkuat ketahanan siber secara menyeluruh. Investasi dalam perlindungan data, deteksi dini, dan pengawasan transaksi harus menjadi prioritas utama.
Kedua, transformasi digital harus diarahkan untuk meningkatkan efisiensi operasional. Teknologi perlu dimanfaatkan untuk menyederhanakan proses, mengurangi biaya, dan mempercepat layanan. Tanpa efisiensi yang nyata, digitalisasi hanya akan memperindah tampilan tanpa memperkuat fondasi bank.
Ketiga, literasi digital masyarakat harus ditingkatkan. Banyak kasus penipuan terjadi bukan karena sistem bank lemah, melainkan karena nasabah belum memahami risiko transaksi digital. Bank perlu lebih aktif memberikan edukasi tentang cara bertransaksi yang aman.
Regulator seperti BI dan OJK juga memiliki peran penting. Koordinasi kebijakan dalam menghadapi volatilitas global dan pengawasan terhadap risiko siber harus lebih adaptif. Respons cepat terhadap dinamika internasional akan membantu menjaga stabilitas sistem keuangan.
Dengan fondasi perbankan yang kuat sepanjang tahun 2025, tantangan-tantangan ini tetap harus dijawab dengan strategi yang tepat. Memasuki tahun 2026, sinergi antara regulator, industri perbankan, dan masyarakat menjadi kunci agar perbankan mampu bertahan sekaligus mendukung perekonomian nasional dan daerah seperti Yogyakarta. (Intan Puspita Sari, Ma’ruf Agung Kurniawan, Prof. Dr. Sri Hermuningsih, MM., CFP., Magister Manajemen, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa)