KRjogja.com - PULAU Sumatra, sebagaimana pulau lain di Indonesia, dikaruniai kekayaan alam berupa hutan tropis, deposit mineral, dan lahan subur. ironisnya justru dilanda bencana akibat kekayaan alam tersebut. Ribuan jiwa menjadi korban belum lagi tempat tinggal dan lahan penghidupan. Kekayaan alam justru mendatangkan malapetaka. Tragisnya, terjadi justru karena kelalaian manusianya, entah itu pemerintah, pengusaha, ataupun segelintir masyarakat yang terakumulasi menjadi kondisi yang makin kronis.
Teori kutukan kekayaan sumber daya alam (Resource Curse) memperingatkan negara atau daerah yang sangat bergantung pada kekayaan sumber daya alam seringkali gagal mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil, bahkan mengalami konflik, kemiskinan, dan, yang paling relevan bagi Sumatra, kerusakan lingkungan yang masif. Di Sumatra, kutukan ini terwujud melalui deforestasi besar-besaran untuk perkebunan monokultur (seperti sawit) dan pertambangan yang tidak berkelanjutan, seringkali dilakukan oleh korporasi yang menyalahi aturan dan dibiarkan oleh lemahnya penegakan hukum.
Menggiurkan memang mengelola daerah dengan sumber daya alam yang melimpah, terutama bagi birokrasi, apalagi pengusaha. Akan tetapi dampaknya sangat masif dan jangka panjang bila tidak bijak dan memegang nilai kebangsaan yang tinggi. Kutukan sumber daya alam bukanlah takdir, melainkan konsekuensi dari pilihan kebijakan dan lemahnya penegakan hukum. Dengan kembali pada nilai kebangsaan yang bersumber dari UUD NRI 1945 melalui nilai ketaatan hukum, demokrasi, dan kesamaan derajat, pemerintah masih memiliki kesempatan untuk mengubah bencana di Sumatra menjadi momentum untuk tata kelola kekayaan alam yang beradab dan berkelanjutan. Nilai yang harus melekat pada diri setiap warga negara dan diamalkan dalam kehidupan sosial serta diimplementasikan dalam sistem nasional, niscaya akan menghindarkan diri dari ketamakan yang berujung bencana.
Pemerintah harus melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin HGU (Hak Guna Usaha) dan IUP (Izin Usaha Pertambangan) di kawasan rawan bencana, seperti hulu sungai dan lereng curam, maupun Lokasi yang tidak begitu beresiko. Izin yang terbukti melanggar tata ruang atau melanggar hukum harus dicabut tanpa kompromi, dan lahan dikembalikan pada fungsi ekologisnya, sesuai amanat Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut. Tidak kalah penting adalah sang pengambil kebijakan haruslah insan berintegritas dan memiliki nilai kebangsaan yang tinggi. Dilemanya adalah bila pemegang ijin ataupun pelaku pelanggar adalah penguasa ataupun relasinya sehingga mempersulit dalam penanganannya. Terlihat jelas tapi sulit diberantas.
Bencana alam ini jangan dianggap angin lalu saja, hiruk pikuk, tuntutan pelanggaran, dan berbagai tekat memperbaiki saat bencana itu terjadi, dan setelah itu berlalu seperti terlupakan. Siklus ini terus terulang tanpa ada perbaikan berarti. Denda administratif dan hujatan tidak cukup menghentikan ironi bencana ini. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menerapkan sanksi pidana tegas bagi korporasi dan individu yang terbukti bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, termasuk jerat pidana korporasi dan pemiskinan aset hasil kejahatan lingkungan.
Perwujudan untuk menghindari kutukan kekayaan alam selain menanamkan nilai kebangsaan yang bersumber dari UUD NRI 1945 juga melalui transformasi strategis. Diversifikasi ekonomi, hilirisasi industri yang bijak, pengelolaan SDA yang berintegritas, pemberantasan korupsi melalui tata kelola transparan , investasi pada sumber daya manusia, dan transisi ke energi terbarukan untuk membangun ekonomi berkelanjutan yang tidak bergantung hanya pada ekstrasi sumber daya, serta melibatkan partisipasi publik dalam pengawasan.(Dr Suparmono MSi, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Pengurus ISEI DIY, Alumni ToT Lemhanas RI Angkatan 223, Peneliti Senior Sinergi Visi Utama Consulting Yogyakarta)