KRjogja.com - YOGYAKARTA berada di ambang krisis. Setiap hari, kota ini memproduksi sekitar 300 ton sampah, sementara Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan, yang telah lama menjadi tumpuan, akan segera menutup pintunya pada Januari 2026 karena over kapasitas. Di tengah hitungan mundur ini, Pemerintah Kota Yogyakarta meluncurkan sebuah program baru bernama Masyarakat Jogja Olah Sampah (Mas JOS).
Program ini bukan sekadar slogan, melainkan sebuah gerakan strategis yang mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk terlibat aktif mengelola sampah dari sumbernya. Konsepnya sederhana namun revolusioner: alihkan alur sampah dari rumah langsung ke TPA, menjadi siklus pengelolaan yang berkelanjutan di tingkat rumah tangga. Inti dari Mas JOS terletak pada 5 Langkah Mas JOS yang digaungkan ke seluruh penjuru kota: memilah sampah sesuai jenis (organik, anorganik, residu), membawa sampah anorganik ke bank sampah, mengolah sampah organik menjadi kompos, menghabiskan makanan untuk mengurangi sisa, serta menggunakan wadah yang dapat dipakai ulang.
Di balik konsep yang menjanjikan, implementasi Mas JOS di lapangan menghadapi sejumlah tantangan berat yang patut dikritisi. Realitasnya, partisipasi masyarakat belum merata. Data dari situs resmi Mas JOS (masjos.id) sendiri menunjukkan angka yang memprihatinkan, di mana beberapa kelurahan dengan jumlah kepala keluarga (KK) besar masih mencatat nol KK yang teredukasi. Hal ini mengindikasikan jangkauan sosialisasi yang belum menembus seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, banyak dari bank sampah yang ada tidak berjalan optimal karena sangat bergantung pada kerja sosial sukarelawan tanpa dukungan kelembagaan yang kuat. Upaya pengolahan sampah organik di rumah tangga yang ditujukan untuk menjadi pupuk organik, juga sulit dilakukan di tengah lahan tanah yang sempit. Hal ini juga didukung dengan data pada situs Mas JOS yang menunjukan pengolahan sampah rumah tangga menempati peringkat yang paling rendah dari program yang lain.
Analisis kritis menunjukkan bahwa realisme program Mas JOS untuk menjadi solusi tunggal masalah sampah Yogyakarta perlu dievaluasi ulang. Program ini memiliki fondasi konsep yang tepat, yaitu penanganan dari hulu, namun implementasinya dihadapkan pada waktu yang sangat singkat. Mengubah kebiasaan masyarakat dari membuang sembarangan menjadi memilah dan mengolah adalah sebuah revolusi budaya yang tidak bisa instan. Tanpa infrastruktur pendukung yang memadai—mulai dari ketersediaan komposter rumah tangga yang terjangkau, armada pengangkutan khusus, hingga jaminan bahwa bank sampah akan menerima dan membayar hasil pilahan warga—gerakan ini berisiko mandeg di tengah jalan.
Agar Mas JOS tidak berakhir sebagai sekadar wacana atau program yang terlambat, diperlukan serangkaian solusi strategis yang perlu diimplementasikan.
Pertama, berikan insentif ekonomi yang nyata pada warga. Daripada hanya mengandalkan kesadaran, berikan stimulus langsung seperti potongan tagihan PBB atau air bagi rumah tangga yang bisa menunjukkan bukti konsisten memilah sampah.
Kedua, revitalisasi dan profesionalisasi bank sampah. Libatkan pihak swasta atau koperasi dalam mengelola bank sampah secara bisnis, bukan lagi sebagai entitas sosial semata, untuk memastikan keberlanjutan operasional.
Ketiga, bangun infrastruktur pengolahan skala besar. Setiap kemantren perlu memiliki fasilitas pengolahan sampah organik dan anorganik modern untuk mengolah hasil pilahan warga, sehingga tidak lagi ketergantungan pada TPA.
Keempat, terapkan sanksi bertahap. Setelah periode sosialisasi intensif, berlakukan sanksi bagi warga yang menolak berpartisipasi, karena ini adalah bagian dari tanggung jawab kolektif.
Terakhir, lakukan transparansi data secara terbuka dan transparan. Publikasikan harian capaian reduksi sampah untuk membangun kepercayaan publik dan menciptakan persaingan sehat antarwilayah. Tanpa langkah-langkah praktis di lapangan ini, Mas JOS mungkin hanya akan menjadi catatan sejarah dalam perjuangan Yogyakarta yang “ngos-ngosan” dalam uapaya melawan sampah, tanpa hasil nyata. (Ignatius Novianto Hariwibowo, S.E., M.Acc, dosen FBE Universitas Atma Jaya Yogyakarta)