opini

Bencana, Kedaulatan, dan Kemanusiaan: Ujian Komunikasi Publik Pemerintah

Sabtu, 20 Desember 2025 | 21:30 WIB
Apit Buchori.


KRjogja.com - BENCANA BESAR yang melanda wilayah Sumatra dan Aceh kembali mengguncang nurani publik. Korban jiwa terus bertambah, ribuan warga kehilangan tempat tinggal, dan kebutuhan dasar seperti pangan, layanan kesehatan, serta hunian darurat menjadi semakin mendesak. Namun di tengah kondisi tersebut, perhatian publik tersita oleh polemik belum diberikannya izin masuk bantuan kemanusiaan dari luar negeri oleh pemerintah pusat.

Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: sampai sejauh mana negara boleh berpegang pada prosedur, ketika nyawa manusia berada dalam kondisi terancam? Polemik ini semakin mengemuka ketika di ruang publik beredar pemberitaan mengenai dugaan kepemilikan lahan sawit oleh Presiden Prabowo Subianto di wilayah Sumatra dan Aceh. Terlepas dari benar atau tidaknya informasi tersebut secara hukum, isu ini telah berkembang menjadi persoalan persepsi publik yang tidak bisa diabaikan.

Antara Kedaulatan Negara dan Tuntutan Kemanusiaan

Dalam praktik hubungan internasional, setiap negara memiliki hak penuh untuk mengatur masuknya bantuan asing ke wilayahnya. Pertimbangan keamanan, koordinasi antarlembaga, hingga efektivitas distribusi bantuan sering menjadi alasan utama pembatasan atau penundaan izin. Dari sudut pandang hukum dan kedaulatan negara, kebijakan ini sah dan dapat dibenarkan. Namun, dalam konteks bencana besar, pendekatan yang terlalu administratif berisiko menciptakan jarak emosional antara negara dan warganya.

Literatur komunikasi krisis menekankan bahwa dalam situasi darurat, kecepatan respons dan empati publik sering kali lebih menentukan legitimasi kebijakan dibanding ketepatan prosedural semata. W. Timothy Coombs, misalnya, menekankan bahwa krisis bukan hanya peristiwa fisik, tetapi juga peristiwa persepsi yang terbentuk di benak publik. Ketika korban terus berjatuhan sementara alasan kebijakan tidak disampaikan secara terbuka dan empatik, publik cenderung menilai negara lamban dan kurang berpihak pada penderitaan rakyat.

Persepsi Publik dan Bayang-Bayang Konflik Kepentingan

Pemberitaan mengenai dugaan kepemilikan lahan sawit presiden di wilayah terdampak bencana, meskipun belum tentu berkaitan langsung dengan kebijakan penanganan bencana, telah memunculkan kecurigaan publik. Dalam kajian Public Relations, terdapat prinsip klasik bahwa “perception is reality”. Artinya, persepsi publik benar atau salah akan membentuk penilaian dan sikap masyarakat terhadap institusi negara.

Masalah utamanya bukan pada kepemilikan aset itu sendiri, melainkan pada bayangan konflik kepentingan yang muncul ketika negara terlihat ragu membuka akses bantuan kemanusiaan. Dalam etika publik, pejabat negara dituntut tidak hanya bersih secara hukum, tetapi juga bebas dari kesan kepentingan pribadi. Bahkan dugaan yang tidak segera dijelaskan dapat berkembang menjadi krisis kepercayaan. Di sinilah pentingnya transparansi. Klarifikasi yang terbuka dan proporsional bukanlah bentuk pembelaan, melainkan bagian dari tanggung jawab moral pemimpin publik.

Lemahnya Pengelolaan Komunikasi Krisis

Jika dicermati, persoalan utama dalam kasus ini bukan semata kebijakan penundaan bantuan luar negeri, melainkan lemahnya komunikasi krisis pemerintah. Informasi yang disampaikan ke publik cenderung bersifat teknis dan administratif, sementara dimensi empati dan kepedulian kurang ditonjolkan. Dalam teori komunikasi krisis, pemerintah seharusnya hadir sebagai “source of reassurance”sumber ketenangan dan kepastian.

Beberapa prinsip dasar yang kerap direkomendasikan antara lain: berbicara cepat, berbicara jujur, menunjukkan empati, dan menyampaikan solusi konkret. Ketika prinsip-prinsip ini tidak dijalankan secara konsisten, ruang publik akan diisi oleh spekulasi, narasi tandingan, bahkan disinformasi. Akibatnya, krisis kebencanaan yang seharusnya menjadi momentum solidaritas justru berubah menjadi krisis reputasi pemerintah.

Kepemimpinan Publik dalam Situasi Duka Nasional

Bencana alam selalu menjadi ujian kepemimpinan. Publik tidak hanya menilai apa yang dilakukan pemerintah, tetapi juga bagaimana pemerintah hadir secara simbolik dan emosional. Dalam etika kepemimpinan publik, empati bukanlah atribut tambahan, melainkan inti dari legitimasi kekuasaan.

Pemimpin yang mampu menunjukkan kepedulian, keterbukaan, dan keberpihakan yang jelas kepada korban akan lebih mudah memperoleh kepercayaan publik, bahkan ketika kebijakan yang diambil bersifat sulit dan kompleks. Sebaliknya, kebijakan yang benar secara prosedural dapat kehilangan makna ketika dikomunikasikan tanpa sensitivitas sosial. 

Halaman:

Tags

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB