instagram/papermoonpuppet
Sementara itu, saya mulai mendapati para penumpang muncul satu per satu mendekati properti kapal. Di situlah saya mulai menyadari apa yang akan saya dapati selama pertunjukan berlangsung hingga selesai kelak.Â
Saya menyaksikan naluri anak-anak yang begitu murni bermain-main tanpa terlalu diarahkan. Cerita yang mengalir mengisahkan tentang perjalanan para penumpang kapal di lautan.Â
Kalau kata Maria Tri Sulistyani selaku co-artistic director Papermoon Puppet Theater, kisah di teater ini diambil dari perjalanan seorang anak dari Sri Lanka yang mencari suaka di Australia.Â
Mulai dari awal berlayar, diterjang badai, hingga sempat tenggelam di laut dalam, teater ini menyajikan perjalanan yang cukup menantang. Dari adegan satu ke adegan lain, saya mendapati anak-anak begitu ceria mengikuti berjalannya arus pementasan. Tanpa diarahkan, mereka mengikuti bagaimana adegan dibuat.Â
Ketika kapal diceritakan tenggelam, anak-anak bersama orang tuanya pun turut mengikuti kepanikan yang bagi mereka adalah petualangan. Begitu pula ketika mereka diberikan pancing-pancing kecil untuk memancing ikan di lautan.
Selama pementasan, kami tidak mendengar ada dialog disuguhkan. Kalau dipikir, keseluruhan pementasan hanya berisi orang tua dan anak-anak yang keasyikan bermain mengikuti adegan. Tapi, di situlah saya merasa seperti diperkenalkan kembali dengan jati diri kekanakan saya.
Dengan ilustrasi yang ditampilkan di tirai putih transparan, kami seperti menerawang pada jati diri anak-anak kami. Apalagi, ketika kami ditunjukkan betapa anak-anak dapat dengan kreatifnya memainkan properti yang ada tanpa merusak adegan yang direncanakan.Â