PANDEMI ini tidak hanya berakibat pada relokasi anggaran pemerintah pusat sampai daerah yang terpangkas hampir setengahnya. Belum lagi stagnannya dana perbankan akibat tidak tersalurkannya kredit bank kakap yang mencapai 200 trilyun rupiah seperti BCA. Bahkan undisbursed loan yang terjadi pada PT Bank Mandiri (Persero) Tbk mencapai Rp 176,8 triliun per Agustus 2020 lalu.
Bank Indonesia) mencatat Utang Luar Negeri Indonesia meningkat sebesar USD413,4 miliar atau setara Rp6.076,98 triliun (kurs Rp14.700 per USD). Utang ini terdiri dari ULN sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) sebesar USD203,0 miliar dan ULN sektor swasta, termasuk BUMN sebesar USD210,4 miliar. Jumlah itu menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 setelah Thailand, Afrika Selatan, dan Argentina yang masuk sepuluh besar.
Dilihat dari kemampuan membayarnya, memang rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Agustus 2020 sebesar 38,5% atau sedikit naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 38,2%. Kekhawatiran masyarakat membuncah dengan makin besarnya utang luar negeri Indonesia dibandingkan dengan batas aman kemampuan membayar utang yang seharusnya secara teoretis dibawah 30 persen. Angka ini memang masih sangat aman bila mengacu pada UU 17/2013 tentang Keuangan Negara, memperbolehkan rasio utang hingga menyentuh 60% dari PDB.
Melonjaknya utang luar negeri Indonesia ini disebabkan masifnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan dalam 5 tahun terakhir ini, diperparah lagi dengan adanya pandemi covid-19.
Agak melegakan adalah bahwa utang untuk pembiayaan pandemi ini memungkinkan untuk dilakukan penundaan, terutama bagi negara ketiga. Debt Service Suspension Initiative (DSSI) sebagai tanggapan atas seruan Bank Dunia dan IMF untuk memberikan penangguhan pembayaran utang kepada negara miskin untuk membantu mereka dalam mengantisipasi dampak pandemi Covid- 19. Selain itu, utang pemerintah ini masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 85% dan pinjaman 15%. Utang dari SBN tercatat sebesar Rp 4.892,57 triliun yang terdiri dari SBN Domestik Rp 3.629,04 triliun dan SBN Valas Rp 1.263,54 triliun. Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp 864,29 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 11,32 triliun dan pinjaman luar
negeri Rp 852,97 triliun.
Terlepas dari itu semua, hutang tetaplah menjadi sebuah pilihan yang tidak terelakkan lagi, terlebih pada masa pandemi ini. Akan lebih bijak bila pemerintah juga mampu meningkatkan jumlah penerimaan pajak. Kemampuan Indonesia dalam menghimpun pajak masih sangat kecil bila dibandingkan dengan negara-negara yang ada di ASEAN. Oleh karena itu ketika pemerintah hendak ingin meminjam uang sebaiknya memperhatikan sisi pendapatannya juga.
Pada saat itu dikhawatirkan bahwa bila perekonomian Indonesia turun dari angka 5,2 persen per tahun, maka kekhawatiran itu akan terjadi. Lebih parah lagi, jangankan mencapai target minimal tersebut, pertumbuhan ekonomi ini bahkan terpuruk sampai minus 5,32 persen. Dengan kontraksi ini, penerimaan negara juga akan mengalami kontraksi bahkan hingga 10%. Kondisi ini tercermin dari revisi penerimaan negara menjadi sebesar Rp 1.760,9 triliun atau hanya 78,9% dari target sebelumnya sebesar Rp 2.233,1 triliun di APBN 2020.
Tidak berhenti sampai disini, pengeluaran negara juga akan diperkirakan terus meningkat untuk memitigasi pandemi ini. Belum lagi recovery ekonomi pasca pandemi yang tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit, pun kita juga tidak tau sampai kapan pandemi ini akan berlangsung.
Kita berharap pada dampak yang diharapkan dari stimulus yang digelontorkan pemerintah berupa bantuan sosial, belanja barang dan jasa lainnya, serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Disamping menggerakkan dari sisi permintaan, stimulus ini juga menggerakkan dari sisi penawaran sehingga sakit ini akan secara sinergis dapat terobati. Bank Indonesia memberikan sinyal meningkatnya konsumsi masyarakat pada periode ini menjadi sebesar minus 4 persen dibandingkan dengan periode sebelumnya yang berada pada angka minus 5,5 persen. Tapi apakah yang bergerak ini merupakan konsumsi seluruh lapisan masyarakat. Sepertinya stimulus ini hanya menggerakkan konsumsi masyarakat menengah bawah dan tidak masyarakat menengah atas. Kelompok masyarakat
menengah, masih cenderung untuk menahan hasrat mengkonsumsinya terutama untuk barang dan jasa yang masih sangat sensitif terhadap pandemi ini. Sebagai contoh, lihatlah bagaimana stagnannya penjualan mobil pada saat pemerintah melalui menteri perindustrian mewacanakan untuk memangkas pajak penjualan mobil menjadi nol persen.
Belum lagi yang perlu pemerintah lakukan evaluasi dalam penggunaan dana stimulus perekonomian ini apakah benar mengena pada sasaran yang tepat. Stimulus bantuan produktif bagi UMKM sebesar 2,4 juta rupiah dan stimulus masyarakat berpenghasilan dibawah lima juta harus dilakukan secara baik. Dana stimulus dalam rangka pemulihan ekonomi nasional perlu segera direalisasikan tentunya dengan mempertimbangkan ketepatan sasarannya. Penyaluran dana PEN senilai total Rp 695 triliun baru terealisasi 52%. Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang mencapai Rp 572 triliun pun baru tersalurkan 41%. Semoga dana yang tersedia dari utang ini termanfaatkan secara efektif dan tepat sasaran.