Oleh : Alimatul Qibtiyah PhD
Anggota Komunitas Kartini UIN Sunan Kalijaga dan Komisioner Komnas Perempuan RI
WABAH Covid-19 sangat berdampak pada banyak pihak termasuk ‘mahasiswa yang terpaksa masih tinggal di kos’, walaupun kampus menetapkan belajar dari rumah. Banyak alasan mereka tidak dapat pulang kampung. Di antaranya karena wilayahnya sudah menerapkan kebijakan karantina mandiri, susah transportasi dan juga karena di rumah susah signal internet. Sehingga khawatir pembelajaran online akan terganggu.
Di tengah persoalan itu, komunitas Kartini di UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta menggerakkan pengumpulan donasi dari civitas akademika dan alumni. Komunitas Kartini UIN Suka adalah para perempuan dosen di lingkungan UIN Yogyakarta.
Pengumpulan donasi tersebut dibelikan sembako dan masker, kemudian didistribusikan ke mahasiswa yang membutuhkan yang terjebak di kos. Gerakan ini luar biasa dalam kurun waktu 10 hari berhasil mengumpulkan lebih dari 100 juta.
Pekan lalu, sudah ada 800 paket yang terdistribusi dan Kartini merencanakan untuk memenuhi permohonan dari 1.090 mahasiswa yang mendaftar. Teori Komunitas Kartini UIN Suka, hanya salah satu contoh gerakan masyarakat yang digerakkan perempuan dalam menghadapi Covid-19 di Indonesia.
Merasa bangga menjadi warga Indonesia, melihat masyarakat terutama perempuan yang tetap bersemangat dan mengikuti protokol kesehatan di tengah kondisi wabah. Mereka juga tidak owel atau eman (kikir) untuk menyumbangkan dana dan pikirannya.
Juga menyumbangkan waktu untuk mengontak secara pribadi (japri) pejabat kampus dan alumni untuk ikut berdonasi. Apa sebenarnya tips dari gerakan kemanusiaan yang dipimpin komunitas perempuan ini hingga dapat mengumpulkan dana yang tidak sedikit untuk ukuran internal kampus? Pertama, jika dilihat dari teori perbedaan (maximaser) yang menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu mempunya keunikan sendiri-sendiri yang saling melengkapi, maka fenomena ini dapat dijelaskan.
Menurut teori ini, perempuan itu bekerja dengan hati, mempunyai jiwa keibuan yang selalu ingin melindungi anaknya, memberikan kehangatan pada anak-anaknya, dekat dengan alam, kelekatan dalam sisterhood, dan karakater positif lainnya yang berbeda dengan laki-laki. Dengan demikian, ketika Komunitas Kartini UIN Yogyakarta bergerak melakukan donasi untuk para mahasiswa/i yang terjebak di kos, ini seolah hubungan anak dan ibunya.
Komunitas Kartini UIN, yang semua anggotanya terdiri para aktivis perempuan UIN seolah menjadi ibu dari para mahasiswa yang menghadapi persolan ekonomi karena wabah Covid-19. Sisi lain banyak para pejabat, dosen dan tenaga pendidik yang laki-laki dan juga bersemangat untuk menjadi donasi.
Hal ini agak susah dijelaskan dengan teori persamaan (minimaxer) yang melihat laki-laki dan perempuan adalah entitas yang sama. Yang membedakan adalah mind set dan juga pengalaman dimana dia dibesarkan dan rujukan-rujukan yang digunakan. Tantangan Faktor kedua adalah kesungguhan dan profesionalitas.
Kesungguhan dalam mengemban amanah para donatur menjadi tantangan di saat anggota komunitas Kartini juga harus bekerja dari rumah. Mereka membagi kerja sosial ini dengan profesional, transparan dan akuntabel. Ada bagian motivator yang bertugas ngopyakngopyak dan mengucapkan terima kasih, bagian yang mencatat, bagian penerima transfer donasi, bagian yang mendata mahasiswa, dan bagian yang mencari logistik. Semua tugas itu dilaksanakan dengan hati dan jiwa kemanusiaan.
Ibarat telur jika diengkremi maka akan netes. Jika tidak diengkeremi maka bisa jadi digoreng dan membawa fitnah. Dengan kesungguhan dan profesionalitas tersebut, banyak donatur yang percaya dan kemudian beberapa memutuskan menyumbang lagi.