TUNGGUL Wulung. Salah satu pusaka berupa bendera (panji) Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Panji tersebut sudah mulai ada sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755), raja pertama Kraton Ngayogyakarta. Konon panji tersebut berasal dari sebuah kain kiswah (penutup ka'bah) yang diperoleh Sultan Agung Hanyakrakusuma ketika ‘menunaikan ibadah haji’ (imajiner) ke Mekkah.
Selama di Mekkah Sultan Agung ikut aktif juga dalam kegiatan sosial keagamaan, ikut berjasa membasmi wabah penyakit yang terjadi di Arab Saudi. Atas jasanya Sultan Agung diberi hadiah jubah tokoh agama dari
Turki. Konon jubah tersebut dulu pernah dipakai oleh salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW.
Sejarahnya tidak jelas, mengapa jubah tersebut lalu jatuh ke tangan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Yang jelas Sri Sultan Hamengku Buwono I merupakan salah satu anak keturunan Sultan Agung, meskipun telah berselang 104 tahun (1644-1755). Jubah tersebut oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I kemudian dijadikan pusaka panji Kraton Mataram Yogyakarta Hadiningrat dan diikatkan dalam tombak.
Sejalan dengan perjalanan waktu, tombaknya menjadi lebih terkenal daripada panjinya. Singkatnya dinamakan Tombak Kiai Tunggul Wulung. Yang selalu dikibarkan bersamaan dengan Panji Pare Anom setiap ada upacara resmi kerajaan Mataram. Nama Tunggul Wulung berasal dari warna panji tersebut yang biru tua kehitamhitaman.
Di tengahnya terhias kaligrafi keemasan berisi surat Al Kautsar, AsmaÃul Husna, dan kalimat Syahadat.
Supranatural
Tombak Kiai Tunggul Wulung dipercaya memiliki kekuatan supranatural, sampai jutaan orang, karena komunitas Tionghoa sendiri di kawasan Yogyakarta dan Kedu baru ada 470 KK. Sehingga jumlah ribuan yang mati
karena terjangkit sampar waktu itu persentasenya tinggi sekali dibandingkan jumlah masyarakat yang ada. Saat itu, boleh dikatakan janma mara janma mati.
Banyak orang yang pulang melayat orang yang meninggal kejangkitan sampar, sampai di rumah tiba- tiba ikut mati.
Bahkan pembawa Tombak Tunggul Wulung waktu itu yang berpangkat bupati sepuh juga ikut mati. Namun ketika Tunggul Wulung selesai dikirabkan, wabah sampar menghilang dari Yogyakarta. Kirab Panji Tunggul Wulung tersebut sempat diulangi lagi karena ada wabah yang sama pada tahun 1821. Hasilnya sama. Wabah secara signifikan menghilang.
Kepercayaan