Perlukah Pusaka Tunggul Wulung Dikirab?

Photo Author
- Rabu, 1 April 2020 | 12:12 WIB
Foto: kerajaan Nusantara
Foto: kerajaan Nusantara

TUNGGUL Wulung. Salah satu pusaka berupa bendera (panji) Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Panji tersebut sudah mulai ada sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755), raja pertama Kraton Ngayogyakarta. Konon panji tersebut berasal dari sebuah kain kiswah (penutup ka'bah) yang diperoleh Sultan Agung Hanyakrakusuma ketika ‘menunaikan ibadah haji’ (imajiner) ke Mekkah.

Selama di Mekkah Sultan Agung ikut aktif juga dalam kegiatan sosial keagamaan, ikut berjasa membasmi wabah penyakit yang terjadi di Arab Saudi. Atas jasanya Sultan Agung diberi hadiah jubah tokoh agama dari

Turki. Konon jubah tersebut dulu pernah dipakai oleh salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW.

Sejarahnya tidak jelas, mengapa jubah tersebut lalu jatuh ke tangan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Yang jelas Sri Sultan Hamengku Buwono I merupakan salah satu anak keturunan Sultan Agung, meskipun telah berselang 104 tahun (1644-1755). Jubah tersebut oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I kemudian dijadikan pusaka panji Kraton Mataram Yogyakarta Hadiningrat dan diikatkan dalam tombak.

Sejalan dengan perjalanan waktu, tombaknya menjadi lebih terkenal daripada panjinya. Singkatnya dinamakan Tombak Kiai Tunggul Wulung. Yang selalu dikibarkan bersamaan dengan Panji Pare Anom setiap ada upacara resmi kerajaan Mataram. Nama Tunggul Wulung berasal dari warna panji tersebut yang biru tua kehitamhitaman.

Di tengahnya terhias kaligrafi keemasan berisi surat Al Kautsar, Asmaíul Husna, dan kalimat Syahadat.

Supranatural

Tombak Kiai Tunggul Wulung dipercaya memiliki kekuatan supranatural, sampai jutaan orang, karena komunitas Tionghoa sendiri di kawasan Yogyakarta dan Kedu baru ada 470 KK. Sehingga jumlah ribuan yang mati

karena terjangkit sampar waktu itu persentasenya tinggi sekali dibandingkan jumlah masyarakat yang ada. Saat itu, boleh dikatakan janma mara janma mati.

Banyak orang yang pulang melayat orang yang meninggal kejangkitan sampar, sampai di rumah tiba- tiba ikut mati.

Bahkan pembawa Tombak Tunggul Wulung waktu itu yang berpangkat bupati sepuh juga ikut mati. Namun ketika Tunggul Wulung selesai dikirabkan, wabah sampar menghilang dari Yogyakarta. Kirab Panji Tunggul Wulung tersebut sempat diulangi lagi karena ada wabah yang sama pada tahun 1821. Hasilnya sama. Wabah secara signifikan menghilang.

Kepercayaan

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: tomi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X